Penurunan jumlah umat Katolik di Peru terus berlanjut meskipun setelah pemilihan Paus Leo XIV pada 8 Mei yang lalu. Survei terbaru yang dilakukan oleh Institut Penelitian Peru (IEP) menunjukkan tren yang mengkhawatirkan bagi Gereja Katolik di negara Amerika Selatan tersebut.
Tren penurunan umat Katolik di tengah euforia pemilihan paus
Hasil survei IEP mengungkapkan fakta yang menarik tentang dinamika keagamaan di Peru. Pada November 2024, sekitar 63,5 persen penduduk Peru mengaku sebagai penganut Katolik. Namun hanya enam bulan kemudian, persentase ini turun menjadi 60,2 persen, meskipun ada peristiwa bersejarah berupa terpilihnya Kardinal Robert Prevost, warga negara Peru kelahiran AS, sebagai pemimpin tertinggi Gereja Katolik dunia.
Dalam periode yang sama, proporsi umat Evangelis justru meningkat dari 8,4 persen menjadi 11,3 persen. Sementara itu, mereka yang mengaku tidak beragama juga bertambah dari 11,1 persen menjadi 11,9 persen. Jika digabungkan dengan denominasi Kristen lainnya, total penganut Evangelis dan Kristen non-Katolik mencapai 23,9 persen dari populasi Peru.
Menariknya, studi besar menunjukkan penurunan Kristen di AS telah berhenti, berbeda dengan situasi di Peru di mana pergeseran demografis keagamaan masih terus berlangsung dengan cepat. Para ahli menekankan bahwa transisi keagamaan yang sedang berlangsung di Peru tidak dapat dibalik oleh satu peristiwa tunggal seperti pemilihan Paus, terutama dalam jangka waktu yang sangat singkat.
Faktor-faktor yang mendorong perubahan lanskap keagamaan
Beberapa faktor utama yang berkontribusi terhadap pergeseran keagamaan di Peru meliputi:
- Pertumbuhan pesat gereja-gereja mega Evangelis dengan infrastruktur yang kuat
- Kedatangan banyak misionaris asing yang mendukung gerakan Evangelis
- Pembangunan kuil-kuil besar di seluruh Lima
- Munculnya ratusan gereja Evangelis kecil di kawasan pemukiman
- Peningkatan jumlah kaum agnostik, terutama di kalangan pemuda terpelajar
Veronique Lecaros, teolog dan kepala jurusan Teologi di Universitas Katolik Kepausan, menekankan bahwa banyak kaum muda, terutama mahasiswa, telah menjauhkan diri dari agama. “Banyak dari mereka bukan ateis, tetapi telah kecewa dengan agama,” ujar Lecaros.
Selain itu, skandal yang melibatkan kelompok Katolik juga mungkin telah memengaruhi persepsi masyarakat Peru terhadap Gereja. Pada 14 April, Vatikan akhirnya membubarkan Sodalitium Christianae Vitae (SCV), kelompok Katolik konservatif yang berpengaruh yang didirikan di Peru oleh Luis Fernando Figari pada tahun 1971, setelah puluhan tahun melakukan pelanggaran.
Tahun | Persentase Katolik | Persentase Evangelis | Tanpa Agama |
---|---|---|---|
1996 | ~90% | 4,4% | ~5% |
2024 (Nov) | 63,5% | 8,4% | 11,1% |
2025 (Mei) | 60,2% | 11,3% | 11,9% |
Respons masyarakat terhadap pemilihan paus dari Peru
Meskipun persentase umat Katolik menurun, survei IEP juga mengungkapkan bahwa mayoritas masyarakat Peru memberikan respons positif terhadap pemilihan Kardinal Prevost sebagai Paus. Sekitar 59 persen responden menyebutkan emosi positif terkait pemilihan tersebut, termasuk kegembiraan (34,5 persen), harapan (9,6 persen), dan ketenangan (6,3 persen). Di kalangan umat Katolik, angka ini lebih tinggi dengan 74 persen mengungkapkan perasaan positif.
Filosof Cecilia Tovar, anggota Institut Bartolomé de las Casas di Lima, berpendapat bahwa dampak dari pemilihan Prevost mungkin membutuhkan waktu lebih lama untuk terlihat. “Pemilihan Prevost tidak akan tercermin dalam survei pada tahap ini. Mungkin perlu beberapa minggu untuk diserap. Jadi, tren masa lalu masih berlaku,” jelasnya.
Menurut Tovar, masalah utama berkaitan dengan ketidakmampuan Gereja dalam menghadapi tantangan saat ini. Para imam yang dibentuk selama beberapa dekade terakhir cenderung “klerikalis” dan kurang memiliki “pendekatan pastoral yang dekat dengan jemaat.” Sementara itu, para pendeta Evangelis biasanya menawarkan pengalaman spiritual yang jauh lebih personal.
“Kita sedang bertransisi dari bentuk iman sosial menjadi iman personal. Gereja sedang membayar harga dari kecenderungan itu,” tambahnya.