Ketakutan Kristen Suriah : Masa depan di ujung tanduk setelah serangan gereja dahsyat

Ketakutan Kristen Suriah : Masa depan di ujung tanduk setelah serangan gereja dahsyat

Serangan bom bunuh diri yang terjadi di Gereja Ortodoks Yunani Nabi Elia pada 22 Juni 2025 telah mengguncang komunitas Kristen di Suriah. Peristiwa tragis yang menewaskan 25 jemaat dan melukai 60 orang lainnya ini menjadi serangan pertama yang menargetkan komunitas Kristen Suriah sejak pembantaian tahun 1860. Kejadian ini memicu ketakutan mendalam di kalangan umat Kristen tentang masa depan mereka di negara yang baru saja mengalami pergantian pemerintahan setelah penggulingan rezim Bashar al-Assad pada Desember lalu.

Dampak serangan gereja terhadap komunitas Kristen Suriah

Emad, seorang pria kurus berusia 40-an tahun, kehilangan saudaranya Milad dalam serangan tersebut. Milad menjadi salah satu dari tiga orang yang berusaha mendorong pelaku bom bunuh diri keluar dari gedung gereja. “Saudaramu adalah pahlawan,” kata mereka kepada Emad ketika dia mencari tahu tentang nasib saudaranya setelah mendengar ledakan dari rumahnya.

“Saya pergi ke rumah sakit untuk melihatnya. Saya tidak bisa mengenalinya. Setengah wajahnya terbakar,” ungkap Emad saat diwawancarai di rumahnya yang kecil. Sebagai pekerja kebersihan di sekolah lokal, Emad dan keluarganya mewakili banyak keluarga Kristen kelas menengah ke bawah yang tinggal di pinggiran Damaskus.

Angie Awabde, mahasiswi berusia 23 tahun yang terluka dalam serangan tersebut, mengungkapkan ketakutannya dari tempat tidur rumah sakit. “Saya hanya ingin meninggalkan negara ini. Saya telah hidup melewati krisis, perang, dan serangan mortir. Saya tidak pernah menyangka sesuatu akan terjadi pada saya di dalam gereja,” katanya sambil memulihkan diri dari luka-luka akibat serpihan dan patah kaki.

Penganiayaan terhadap komunitas Kristen di Suriah menjadi bagian dari pola kekerasan yang lebih luas. Sebelum perang saudara 13 tahun yang menghancurkan, umat Kristen membentuk sekitar 10% dari populasi 22 juta di Suriah, namun jumlah mereka telah menyusut secara signifikan dengan ratusan ribu orang melarikan diri ke luar negeri.

Kekhawatiran keamanan dan perubahan sosial di bawah pemerintahan baru

Selama pemerintahan Bashar al-Assad, banyak komunitas minoritas agama dan etnis di Suriah percaya bahwa negara melindungi mereka. Namun sekarang, banyak yang takut pemerintahan baru yang dipimpin oleh kelompok Islamis tidak akan melakukan hal yang sama. Meskipun Presiden Sementara Ahmed al-Sharaa dan pemerintahannya telah berjanji untuk melindungi semua warga, kekerasan sektarian mematikan baru-baru ini di daerah pesisir Alawite dan komunitas Druze di sekitar Damaskus membuat orang meragukan kemampuannya untuk mengendalikan situasi.

Berikut adalah perubahan sosial yang telah diamati sejak penggulingan Assad:

  • Tindakan keras terhadap kebebasan sosial
  • Dekrit tentang cara berpakaian wanita di pantai
  • Serangan terhadap pria yang mengenakan celana pendek di tempat umum
  • Penutupan bar dan restoran yang menyajikan alkohol

Archimandrite Meletius Shattahi, direktur jenderal sayap amal Patriarkat Ortodoks Yunani Antiokia, merasa pemerintah tidak melakukan cukup tindakan. Dia merujuk pada video yang beredar online menunjukkan pengkhotbah agama bersenjata yang menyuarakan Islam melalui pengeras suara di lingkungan Kristen, mengatakan ini bukan “insiden individual”.

Kelompok yang Mengklaim Tanggung Jawab Tanggapan Pemerintah
Islamic State (IS) Menurut otoritas Suriah
Saraya Ansar al-Sunnah (kelompok ekstremis Sunni) Pejabat pemerintah menyatakan kelompok ini tidak beroperasi secara independen dari IS

Ketakutan Kristen Suriah : Masa depan di ujung tanduk setelah serangan gereja dahsyat

Tanggapan masyarakat dan pemerintah pasca serangan

Satu hari setelah pengeboman, dua tersangka tewas dan enam lainnya ditangkap dalam operasi keamanan terhadap sel IS di Damaskus. Namun, tindakan ini sedikit meredakan ketakutan tentang situasi keamanan, terutama bagi minoritas agama.

Dalam upacara pemakaman massal yang dihadiri oleh orang-orang dari berbagai lapisan masyarakat Suriah, Patriark Gereja Ortodoks Yunani di Suriah, John Yazigi, menegaskan bahwa “pemerintah menanggung tanggung jawab penuh”. Dia mengatakan telepon dari Presiden Ahmed al-Sharaa yang menyampaikan belasungkawa “tidak cukup bagi kami”, yang mengundang tepuk tangan dari jemaat.

Banyak warga Kristen Suriah, seperti keluarga Emad, menggemakan sentimen ini, mengatakan: “Kami tidak aman di sini lagi.” Ketakutan ini mencerminkan kekhawatiran yang lebih luas tentang masa depan komunitas Kristen di Suriah dan kemampuan pemerintah baru untuk melindungi minoritas agama di tengah pergolakan politik dan sosial yang kompleks pasca-Assad.

Agung
Scroll to Top