Fenomena dukungan umat Kristen terhadap gerakan MAGA menimbulkan pertanyaan mendalam tentang kesesuaian antara iman dan tindakan politik. Bagaimana mungkin mereka yang mengaku mengikuti Yesus dapat mendukung kebijakan yang bertentangan dengan ajaran kasih dan belas kasihan ? Jawabannya terletak pada konsep moralitas vertikal yang mengutamakan ketaatan buta terhadap otoritas dibandingkan empati terhadap sesama manusia.
Konsep moralitas vertikal dalam gerakan politik
Moralitas vertikal mengajarkan bahwa standar benar dan salah datang dari otoritas superior yang harus dipatuhi tanpa pertanyaan. Tia Levings, mantan fundamentalis Kristen, menjelaskan bahwa sistem ini mengukur kebenaran berdasarkan kepatuhan kepada figur berkuasa daripada dampak nyata terhadap orang lain. Dalam konteks agama, otoritas tersebut adalah Tuhan, sementara dalam politik bisa berupa pemimpin otoriter.
April Ajoy, penulis buku tentang nasionalisme Kristen, menegaskan bahwa moralitas vertikal dalam Kekristenan berfokus pada menyenangkan Tuhan semata. Perilaku dianggap benar jika sesuai dengan perintah ilahi, terlepas dari konsekuensinya terhadap manusia lain. Konsep ini berlawanan dengan moralitas horizontal yang mengutamakan kesejahteraan komunitas dan hubungan interpersonal.
Rachel Klinger Cain, aktivis yang mempopulerkan istilah ini di media sosial, menggambarkan moralitas vertikal sebagai versi sederhana dari teori perintah ilahi dalam metaetika. Sistem ini menarik karena memberikan jawaban pasti tanpa memerlukan pertimbangan kompleks tentang dampak sosial. Namun, pendekatan ini berbahaya ketika digunakan untuk membenarkan tindakan yang merugikan kelompok marginal.
| Moralitas Vertikal | Moralitas Horizontal |
|---|---|
| Kepatuhan kepada otoritas | Empati terhadap sesama |
| Aturan dari atas | Kesejahteraan komunitas |
| Ketaatan tanpa pertanyaan | Pertimbangan dampak nyata |
Dampak teologi fundamentalis terhadap politik Amerika
Gerakan Kristen konservatif Amerika semakin dipengaruhi oleh teologi Reformed dan theonomy yang menekankan penerapan hukum Perjanjian Lama dalam masyarakat modern. Levings menunjukkan bahwa pendekatan ini mengabaikan ajaran Yesus tentang kasih dan belas kasihan, lebih memilih interpretasi keras dari teks-teks kuno yang tidak dapat digugat.
Dalam narasi politik kontemporer, nasionalis Kristen memandang siapa pun dalam tim politik mereka sebagai pihak yang benar dan berada di sisi Tuhan. Sebaliknya, mereka yang menentang dianggap jahat dan satanik. Perspektif ini menciptakan polarisasi ekstrem yang membenarkan kebijakan keras terhadap imigran, komunitas LGBTQ, dan kelompok minoritas lainnya.
Klinger Cain mencontohkan kisah Abraham yang bersedia mengorbankan anaknya Isaac sebagai ilustrasi moralitas vertikal. Dalam sistem horizontal, menolak membunuh seseorang bahkan atas perintah otoritas adalah tindakan moral yang benar. Namun dalam moralitas vertikal, menolak perintah Tuhan justru dianggap dosa, meskipun perintah tersebut tidak bermoral secara inheren.
Para ahli mengidentifikasi beberapa karakteristik berbahaya dari moralitas vertikal dalam konteks politik :
- Mendemonisasi empati sebagai kelemahan atau bahkan dosa
- Membenarkan perlakuan kejam dengan dalil “kasih yang keras”
- Mengabaikan bukti ilmiah dan kemajuan peradaban
- Menolak keberagaman pandangan dan inklusivitas
Manipulasi kehendak ilahi untuk justifikasi politik
Bahaya utama moralitas vertikal terletak pada kemudahan manipulasinya untuk kepentingan politik. Ajoy menjelaskan bahwa sejarah menunjukkan bagaimana Kekristenan telah disalahgunakan untuk membenarkan perbudakan dan aktivitas Ku Klux Klan. Pola serupa terlihat dalam administrasi Trump, di mana retorika religius digunakan untuk menutupi kebijakan yang merugikan kelompok rentan.
Sistem ini menciptakan desensitisasi terhadap penderitaan orang lain. Misalnya, respons keras terhadap imigran tidak berdokumen dibenarkan dengan argumen bahwa setiap pelanggaran aturan, sekecil apa pun, layak mendapat hukuman berat. Perspektif ini berakar pada keyakinan bahwa setiap dosa, bahkan yang tidak merugikan orang lain, layak mendapat kutukan kekal.
Malynda Hale dari The New Evangelicals menekankan bahwa moralitas vertikal yang tidak seimbang dengan pertimbangan horizontal dapat menyebabkan orang Kristen mengabaikan ketidakadilan sistemik. Mereka terjebak dalam krisis identitas antara iman dan politik yang mengutamakan kesalehan pribadi daripada tanggung jawab sosial.
Levings memperingatkan bahwa moralitas vertikal tidak dapat mempertimbangkan kemajuan modern, penelitian baru, atau kebutuhan kontemporer. Sistem ini bergantung pada kebajikan penguasa dan menolak kritik atau pertanyaan. Mereka yang berani mempertanyakan akan dikucilkan dari kelompok, menciptakan kultur ketakutan dan konformitas yang berbahaya bagi demokrasi dan kemanusiaan.
- Sarjana Perjanjian Baru N.T. Wright tentang ajaran Santo Paulus - 13 November 2025
- Perayaan hari raya Basilika Lateran : sejarah dan makna spiritual gereja katedral Roma - 10 November 2025
- Mayoritas diam umat Katolik AS dukung upaya penegakan imigrasi Trump, kata ahli - 30 Oktober 2025




