Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena antisemitisme telah menunjukkan peningkatan yang mengkhawatirkan di berbagai belahan dunia. Di tengah ketegangan ini, muncul sebuah organisasi yang berusaha membangun jembatan antara dua tradisi keagamaan yang memiliki akar sama: Asosiasi Katolik Ibrani. Didirikan dengan visi untuk memberikan ruang bagi orang-orang Yahudi yang memeluk Katolik tanpa harus meninggalkan identitas budaya dan tradisi Yahudi mereka.
Perjalanan spiritual antara dua identitas
David Moss, seorang pria berusia 83 tahun dengan latar belakang Yahudi konservatif, menjadi contoh nyata dari perjalanan spiritual yang menjembatani dua tradisi keagamaan ini. Setelah menjalani bar mitzvah pada usia 13 tahun, Moss mengalami periode pencarian spiritual selama 23 tahun yang akhirnya membawanya pada pengalaman mistis yang mengubah hidupnya dan membawanya memeluk iman Katolik pada tahun 1979.
“Ketika saya masuk Gereja di tahun 1970-an, saya masih punya banyak hal untuk dipelajari. Saya tahu sangat sedikit tentang bagaimana Katolikisme terhubung dengan asal-usul Yahudi saya,” ungkap Moss. Narasi umum saat itu menyatakan bahwa ketika seseorang menjadi Katolik, identitas Yahudi mereka berakhir.
Namun melalui pertemuannya dengan Pastur Elias Friedman, pendiri Asosiasi Katolik Ibrani (AHC), Moss memahami bahwa Katolikisme adalah bentuk Yudaisme yang telah berkembang dan terpenuhi, bukan pengganti identitas Yahudi. “Ini seperti seorang anak yang menjadi dewasa. Orang dewasa tidak menggantikan anak. Keduanya adalah satu realitas, hanya fase berbeda dari keberadaan mereka,” jelasnya.
Lawrence Feingold, seorang mantan agnostik yang bertobat menjadi Katolik pada tahun 1989 dan kini menjabat sebagai direktur teologi AHC, mengungkapkan bahwa justru setelah menjadi Katolik ia mulai terhubung kembali dengan iman Yahudi dan tertarik untuk melestarikan serta mempraktikkannya. “Sangat tragis bahwa hal ini sering dipahami sebagai pilihan salah satu. Padahal bagi kami, menjadi Katolik justru membuka jalan menuju Perjanjian Lama,” ujarnya.
Praktik unik “Katolik Ibrani” dalam kehidupan sehari-hari
Para “Katolik Ibrani” tetap mempertahankan aspek-aspek penting dari tradisi Yahudi sambil sepenuhnya mengikuti ajaran Katolik. Beberapa praktik yang umum dilakukan meliputi:
- Merayakan Seder Paskah dengan keluarga dan teman
- Mengamati Shabbat (hari Sabat)
- Sesekali mengunjungi sinagoga sebagai tempat doa dan pembelajaran
- Mempelajari bahasa Ibrani dan teks-teks Yahudi
“Tidak ada yang kami lakukan yang melanggar ajaran Katolik,” tegas Moss. “Bagi saya, melanjutkan tradisi Yudaisme justru membuat Katolikisme semakin agung, karena semua ini adalah bagian dari rencana Tuhan.”
Menariknya, pendekatan inklusif ini berbeda dengan perdebatan tentang upaya konversi antar denominasi Kristen yang sering menjadi fokus. Bagi AHC, tujuannya bukan semata konversi, melainkan pengakuan akan kontinuitas spiritual.
Dokumen Gereja | Tahun | Kontribusi pada Dialog Katolik-Yahudi |
---|---|---|
Nostra Aetate | 1965 | Mengakui warisan spiritual bersama antara Kristiani dan Yahudi |
Dokumen Kongregasi untuk Mempromosikan Persatuan Kristen | 1985 | Menekankan “realitas permanen umat Yahudi” |
Dokumen Uskup-uskup AS | 1988 | Mendorong Katolik untuk menghormati peringatan Holocaust dan Seder Paskah |
Tantangan antisemitisme dan jalan ke depan
Organisasi-organisasi Yahudi telah menyuarakan keprihatinan atas peningkatan insiden antisemitisme, terutama sejak dimulainya perang Israel-Hamas pada Oktober 2023. Laporan Komite Yahudi Amerika pada Februari menyebutkan bahwa 77% orang Yahudi Amerika merasa kurang aman sebagai orang Yahudi di AS setelah serangan Hamas dan dampaknya.
Moss mengakui bahwa ia telah menghadapi sikap antisemitisme dari sesama Katolik selama bertahun-tahun, terutama dari mereka yang mengkritik pandangannya bahwa seseorang dapat menjadi Katolik sepenuhnya sambil tetap mempraktikkan tradisi Yahudi. Ia menekankan pentingnya bagi umat Katolik untuk mempelajari Perjanjian Lama untuk memahami rencana keselamatan Tuhan.
“Yesus tidak datang dengan seperangkat Sepuluh Perintah baru. Mereka sudah ada. Dia tidak memunculkan gagasan baru tentang belas kasihan dan cinta. Semua itu sudah ada dalam Perjanjian Lama,” jelas Moss.
Kini di usia pertengahan 80-an, Moss sedang mencari penerus untuk memimpin AHC. Sementara itu, organisasi terus berkembang perlahan, bekerja dalam kerangka Gereja sambil mengadvokasi pengakuan dan integrasi tradisi Yahudi dalam praktik Katolik.
Seperti yang disimpulkan Moss, Perjanjian Baru adalah sarana keselamatan, tetapi Perjanjian Lama tidak pernah berlalu. “[Orang Yahudi yang menjadi Katolik] dapat melakukan semua yang dilakukan Katolik, tetapi mereka juga memiliki tradisi sendiri, dan mereka tidak harus melepaskannya.”