Ancaman ekstremisme keagamaan domestik yang terus berkembang : tantangan global abad ke-21

Ancaman ekstremisme keagamaan domestik yang terus berkembang : tantangan global abad ke-21

Di era digital yang berkembang pesat, fenomena ekstremisme keagamaan domestik menjadi tantangan serius bagi masyarakat global. Kasus Vance Luther Boelter di Minnesota pada Juni 2025 menjadi contoh nyata bagaimana radikalisasi agama dapat mendorong tindakan kekerasan yang mengerikan. Sebagai seorang ayah dengan lima anak dan memiliki rumah besar bernilai tinggi, Boelter sama sekali tidak menunjukkan ciri-ciri orang yang terisolasi atau menderita gangguan mental akut.

Pergeseran wajah ekstremisme religius di abad ke-21

Sepuluh tahun yang lalu, ancaman ekstremisme religius sering dikaitkan dengan kelompok Islam radikal, terutama pasca serangan 11 September 2001. Ketakutan terhadap ekstremisme Islam bahkan menjadi salah satu faktor pendorong dukungan terhadap figur politik seperti Donald Trump yang menjanjikan kebijakan tegas terhadap imigrasi Muslim.

Namun lanskap ekstremisme religius telah mengalami perubahan signifikan. Saat ini, kita menyaksikan peningkatan kasus kekerasan yang dimotivasi oleh ekstremisme Kristen domestik di berbagai negara barat, khususnya Amerika Serikat. Fenomena ini menggambarkan bagaimana radikalisasi dapat terjadi dalam berbagai konteks keagamaan.

Para ahli sosial politik mencatat bahwa ekstremisme religius domestik sering kali berkaitan dengan:

  • Politisasi berlebihan dari ajaran agama
  • Penggantian nilai-nilai spiritual dengan identitas politik
  • Penggunaan retorika “musuh” terhadap kelompok yang berbeda
  • Keyakinan pada teori konspirasi yang mengarah pada paranoia
  • Pandangan apokaliptik tentang perubahan sosial

Metamorfosis agama menjadi ideologi politik

Fenomena yang mengkhawatirkan adalah bagaimana agama dapat berubah dari kekuatan yang mempromosikan cinta kasih dan toleransi menjadi alat pembenaran untuk kebencian dan kekerasan. Pergeseran nilai-nilai fundamental keagamaan terjadi ketika interpretasi sempit digunakan untuk mendukung agenda politik tertentu.

Russell Moore, editor Christianity Today, melaporkan bahwa beberapa pendeta telah ditegur oleh jemaat mereka hanya karena menyebutkan ajaran tentang kelemahlembutan dalam khotbah mereka. Peter Wehner dalam wawancara tahun 2022 mengamati bahwa, “Pandangan spiritual telah digantikan oleh identitas inti yang bersifat politis.”

Kasus Boelter mencerminkan transformasi ini. Meskipun dikenal sebagai orang yang “sangat religius” oleh lingkungannya, dia menggunakan bahasa yang memperlihatkan pengaruh retorika politik polarisasi. Dalam kunjungannya ke Republik Demokratik Kongo, dia menggambarkan orang-orang homoseksual dan transgender sebagai “bingung” dan menambahkan bahwa “musuh telah masuk begitu dalam ke pikiran dan jiwa mereka.”

Bentuk Ekstremisme Religius Karakteristik Contoh Kasus
Ekstremisme Tradisional Fokus pada interpretasi literal teks suci Komunitas isolasionis
Ekstremisme Politik-Religius Menggabungkan agama dengan agenda politik Kasus Vance Boelter
Ekstremisme Apokaliptik Keyakinan akan akhir zaman yang segera tiba Kelompok millenarianisme

Ancaman ekstremisme keagamaan domestik yang terus berkembang : tantangan global abad ke-21

Tantangan menghadapi radikalisasi domestik

Menangani ekstremisme keagamaan domestik memerlukan pendekatan yang berbeda dari penanganan terorisme internasional. Pelaku ekstremisme domestik sering terintegrasi dengan baik dalam masyarakat mereka, memiliki pekerjaan stabil, dan hidup sebagai anggota komunitas yang dihormati seperti halnya Boelter.

Selama bertahun-tahun, tanda-tanda radikalisasi religius dalam konteks Islam telah menjadi perhatian otoritas keamanan. Orang-orang seperti Jose Padilla, Richard Reid, dan Tamerlan Tsarnaev menjadi lebih taat beragama sebelum melakukan aksi terorisme. Namun, perubahan serupa dalam konteks Kristen tidak menimbulkan kewaspadaan yang sama.

Kasus Boelter bukanlah anomali. Dia bergabung dengan daftar panjang individu yang terdorong oleh ideologi ekstremis untuk melakukan kekerasan: James Alex Fields Jr. di Charlottesville, David DePape yang menyerang Paul Pelosi, Patrick Wood Crusius di El Paso, dan banyak lagi. Semua kasus ini menunjukkan bagaimana pembenaran agama dapat digunakan untuk mendukung kekerasan ideologis.

Menghadapi tantangan ini membutuhkan pendekatan komprehensif yang memperhatikan tanda-tanda radikalisasi sambil tetap menghormati kebebasan beragama. Hal ini mungkin merupakan salah satu tantangan terbesar bagi masyarakat demokratis di abad ke-21.

Rian Pratama
Scroll to Top