Bagaimana Kristen berubah dari ‘hampir ilegal’ menjadi agama baru di Silicon Valley

Bagaimana Kristen berubah dari 'hampir ilegal' menjadi agama baru di Silicon Valley

Perubahan drastis telah terjadi di jantung industri teknologi global. Silicon Valley, yang dulunya dianggap sebagai benteng ateisme dan progresivisme, kini menyaksikan kebangkitan kekristenan yang mengejutkan. Para CEO teknologi terkemuka dan investor venture capital mulai secara terbuka mendiskusikan keyakinan religius mereka, sebuah fenomena yang dulu hampir tak terbayangkan.

Transformasi spiritual di lembah silikon

Selama bertahun-tahun, monokultur Silicon Valley telah memprioritaskan tipe “orang pintar” tertentu. Mereka adalah individu yang biasanya mendukung Barack Obama, memperjuangkan hak-hak gay, dan berpartisipasi dalam gerakan progresif. Ateisme menjadi norma, dengan sedikit ruang untuk spiritualitas Barat tradisional. Menjadi seorang Kristen praktis dianggap sebagai sesuatu yang hampir ilegal dalam konteks budaya.

Namun saat ini, Silicon Valley merangkul Kristen dengan Peter Thiel membantu pergeseran budaya teknologi secara signifikan. Miliarder teknologi Peter Thiel telah berbicara tentang keyakinan evangelisnya selama lebih dari satu dekade. “Saya percaya pada kebangkitan Kristus,” ungkapnya dalam ceramah tahun 2020. “Satu-satunya panutan yang baik bagi kita adalah Kristus.”

Elon Musk, salah satu orang terkaya di dunia dengan perkiraan kekayaan $400 miliar, juga menggambarkan dirinya sebagai “Kristen kultural” dalam wawancara dengan Jordan Peterson. Pengakuan dan dukungan dari tokoh-tokoh berpengaruh ini menantang pandangan bahwa Kekristenan bertentangan dengan kapitalisme atau anti-intelektual.

Tokoh Teknologi Kekayaan (Perkiraan) Pandangan Terhadap Kekristenan
Elon Musk $400 miliar “Kristen kultural” yang menghargai ajaran Yesus
Peter Thiel $14 miliar Pendukung nyata ajaran Kristus

Pergeseran paradigma pasca-pandemi

Perubahan ini terjadi bersamaan dengan pengetatan ekonomi pasca-pandemi yang mendorong beberapa CEO untuk secara terbuka mendukung politik sayap kanan. Alex Karp, CEO perusahaan intelijen pertahanan Palantir, bahkan mengkritik apa yang disebutnya sebagai “agama pagan tipis, korosif, dan kanker yang menginfeksi universitas kita” – merujuk pada woke-isme yang dianggap berlebihan.

Chamath Palihapitiya, seorang venture capitalist yang sebelumnya sangat liberal, juga menunjukkan pergeseran serupa. Setelah sebelumnya mengecam Presiden Donald Trump dengan keras, ia kemudian ikut menyelenggarakan acara penggalangan dana kampanye untuk mendukung presiden tersebut.

Beberapa faktor yang mempengaruhi kebangkitan Kekristenan di Silicon Valley antara lain:

  • Pencarian akan kerangka etika yang telah bertahan selama ribuan tahun
  • Kekecewaan terhadap progresivisme yang dianggap gagal memenuhi janji
  • Pengaruh miliarder Kristen seperti Peter Thiel dan Elon Musk
  • Pergeseran politik pasca-pandemi
  • Kebutuhan akan nilai-nilai tradisional di tengah disrupsi teknologi

Bagaimana Kristen berubah dari 'hampir ilegal' menjadi agama baru di Silicon Valley

Prototype pendiri baru dan visi untuk masa depan

Dalam iklim baru ini, ambisi Silicon Valley telah bergeser. Dahulu, anak jenius berusia 20-an yang membangun aplikasi viral dan keluar dari Stanford adalah favorit para venture capitalist. Namun sekarang, mereka lebih tertarik pada pendiri yang menekankan nilai-nilai tradisional, etika kerja, dan latar belakang keagamaan.

Marc Andreessen, venture capitalist terkemuka, menerbitkan esai berjudul “It’s Time to Build” yang menjadi katalis perubahan ini. Ia berpendapat bahwa inovasi Amerika telah menurun, dan masyarakat Barat telah kehilangan arahnya. Menurutnya, sudah waktunya kembali ke dunia “nenek moyang kita” yang membangun semua hal yang kita anggap biasa sekarang.

Silicon Valley kini mendukung proyek-proyek dengan visi yang lebih besar daripada sekadar perangkat lunak berlangganan. Proyek-proyek ini akan dipimpin oleh jenis wirausahawan baru, orang serius dengan visi serius untuk masa depan. Katherine Boyle, partner di Andreessen Horowitz, mencari pengusaha dengan “api di mata, kegarangan dalam ucapan dan tindakan yang merupakan manifestasi fisik dari keseriusan.”

Pergeseran dari “hampir ilegal” menjadi “agama baru” di Silicon Valley menandai perubahan signifikan dalam lanskap budaya teknologi Amerika. Kekristenan, dengan penekanannya pada nilai-nilai tradisional dan kerangka etika yang telah teruji waktu, tampaknya menemukan tempat barunya di jantung inovasi global.

Rian Pratama
Scroll to Top