Gereja Katolik Amerika Serikat mengalami pergolakan ideologis yang mendalam terkait konsistensi etika kehidupan selama dekade 1980-an. Perdebatan ini mencerminkan ketegangan antara visi progresif Konsili Vatikan II dan tekanan politik konservatif yang semakin menguat dalam landscape politik Amerika.
Akar mula pendekatan holistik terhadap perlindungan kehidupan
Pada Oktober 1979, para uskup Katolik Amerika merilis dokumen berjudul “Political Responsibility : Choices for the 1980s” yang menandai perubahan signifikan dalam pendekatan politik gereja. Berbeda dengan panduan pemilu 1976 yang fokus utama pada aborsi, dokumen ini mengadopsi perspektif yang lebih luas dengan membahas isu-isu seperti perlombaan senjata nuklir, bahaya perang atom, dan sistem apartheid di Afrika Selatan.
Para uskup berusaha menghindar dari identifikasi dengan sayap kanan politik dengan menghubungkan oposisi terhadap aborsi dengan program sosial gereja yang lebih luas. Mereka mengembangkan konsep yang kemudian dikenal sebagai “consistent life ethic” atau etika kehidupan yang konsisten, yang menekankan perlindungan kehidupan manusia dari konsepsi hingga kematian alami.
Msgr. George Higgins, tokoh progresif yang mendukung serikat buruh, mengkritik aktivis pro-life yang menerapkan prinsip penghormatan kehidupan secara selektif. Menurutnya, tidak mungkin menangani ancaman terhadap kehidupan manusia secara terpisah, karena semua bentuk ancaman terhadap martabat manusia saling terkait dan memerlukan pendekatan holistik.
| Periode | Pendekatan Gereja | Fokus Utama |
|---|---|---|
| 1976 | Isu tunggal | Aborsi |
| 1980 | Etika konsisten | Aborsi + Isu sosial |
| 1984 | Perpecahan | Perdebatan internal |
Pengaruh aktivis Katolik progresif dalam gerakan pro-life
Juli Loesch Wiley menjadi figur kunci dalam mengembangkan visi etika kehidupan yang konsisten melalui organisasi Prolifers for Survival yang didirikannya pada 1979. Wiley, yang awalnya menjauh dari ajaran gereja karena komitmennya pada feminisme, akhirnya kembali ke iman Katolik setelah menyadari bahwa “revolusi seksual gagal memenuhi janjinya” dan justru merugikan perempuan.
Pendekatan Wiley menarik bagi kalangan evangelikal progresif yang sebelumnya enggan terlibat dalam gerakan pro-life karena keterkaitan gerakan tersebut dengan nasionalisme Kristen. Majalah Sojourners pada 1980 mendedikasikan edisi khusus untuk mendukung oposisi terhadap aborsi dengan kerangka etika kehidupan yang konsisten, menampilkan artikel-artikel dari gerakan perdamaian Katolik.
Para aktivis ini percaya bahwa perlindungan kehidupan prenatal harus sejalan dengan kepedulian terhadap kemiskinan, hukuman mati, dan perang nuklir. Mereka melihat inkonsistensi dalam gerakan pro-life yang hanya fokus pada aborsi sambil mengabaikan ancaman kehidupan lainnya. Perubahan sikap Katolik Amerika terhadap berbagai isu sosial mencerminkan dinamika yang kompleks ini.
Konfrontasi dengan politisi Katolik pro-choice tahun 1984
Pemilihan presiden 1984 menjadi titik balik dalam politik aborsi Gereja Katolik ketika Partai Demokrat menominasikan Walter Mondale dengan Geraldine Ferraro sebagai cawapres. Ferraro, seorang Katolik yang secara pribadi menentang aborsi namun mendukung hak pilih, menghadapi kritik keras dari hierarki gereja.
Uskup Agung John O’Connor dari New York menyatakan bahwa “seorang Katolik tidak dapat dengan hati nurani yang baik memilih kandidat yang secara eksplisit mendukung aborsi”. Pernyataan ini memicu kontroversi dan memaksa politisi Katolik untuk memilih posisi yang jelas antara kesetiaan pada ajaran gereja dan pluralisme politik.
Gubernur Mario Cuomo memberikan respons yang lebih nuanced dalam pidatonya di Universitas Notre Dame, membedakan antara keyakinan pribadi dan kebijakan publik. Cuomo berargumen bahwa dalam masyarakat yang beragam secara moral, lebih bijaksana membangun aliansi dengan orang-orang pro-choice yang berbagi visi keadilan sosial daripada memaksakan posisi anti-aborsi yang kontroversial.
- Ferraro setuju dengan posisi uskup pada 44 dari 60 isu politik
- Platform Republik hanya sejalan dengan posisi uskup pada 16 isu
- Namun perbedaan pada isu aborsi menjadi fokus utama perdebatan
- Konflik ini menandai polarisasi yang semakin tajam dalam politik Katolik
Kemunduran visi etika kehidupan yang komprehensif
Setelah 1984, konsensus tentang etika kehidupan yang konsisten mulai terkikis di kalangan hierarki Katolik Amerika. Uskup-uskup yang ditunjuk oleh Paus Yohanes Paulus II, seperti John O’Connor, cenderung memprioritaskan isu aborsi di atas isu-isu sosial lainnya, bertentangan dengan visi Kardinal Joseph Bernardin yang mempromosikan pendekatan “seamless garment”.
O’Connor berargumen bahwa aborsi melibatkan kehancuran massal kehidupan tak berdosa sehingga membuat semua ancaman lain terhadap kehidupan manusia menjadi tidak signifikan dalam perbandingan. Pandangan ini mendapat dukungan kuat dari Paus Yohanes Paulus II dan secara bertahap menjadi dominan di kalangan Katolik konservatif.
Perpecahan ini juga tercermin dalam munculnya Catholics for a Free Choice, organisasi yang dipimpin Frances Kissling yang menantang otoritas hierarki gereja dalam isu aborsi. Mereka berargumen bahwa keberagaman pendapat tentang aborsi ada di kalangan teolog Katolik dan bahwa hati nurani individual harus menjadi panduan utama dalam keputusan moral.
Pada akhir dekade 1980-an, oposisi terhadap aborsi telah menjadi identitas ideologis sentral bagi Katolik konservatif yang taat, menciptakan garis pemisah yang jelas antara Katolik nominal dan mereka yang aktif dalam kehidupan gereja. Survey menunjukkan bahwa 61% Katolik Amerika percaya aborsi setara dengan pembunuhan anak, dengan persentase yang lebih tinggi di kalangan yang menganggap agama sangat penting dalam hidup mereka.
- Sarjana Perjanjian Baru N.T. Wright tentang ajaran Santo Paulus - 13 November 2025
- Perayaan hari raya Basilika Lateran : sejarah dan makna spiritual gereja katedral Roma - 10 November 2025
- Mayoritas diam umat Katolik AS dukung upaya penegakan imigrasi Trump, kata ahli - 30 Oktober 2025




