Pandangan tentang imigrasi sering memicu perdebatan tajam di kalangan Katolik Amerika Serikat. Baru-baru ini, surat Paus Fransiskus kepada para uskup AS tentang program deportasi massal memicu kontroversi hebat. Kelompok Katolik yang mendukung kebijakan perbatasan ketat (border-hawk Catholics) mengkritik keras pandangan Paus, namun pertanyaannya: apakah kritik mereka sejalan dengan tradisi Katolik yang mereka klaim mereka pertahankan?
Tradisi Katolik dan imigrasi: apa yang sebenarnya diajarkan Gereja?
Dalam sebuah surat kepada para uskup Amerika Serikat, Paus Fransiskus menggambarkan program deportasi massal sebagai “krisis besar” dan mengajak umat beriman “untuk tidak menyerah pada narasi yang mendiskriminasi dan menyebabkan penderitaan yang tidak perlu bagi saudara-saudari kita para migran dan pengungsi.” Pernyataan ini disambut dengan kecaman dari kalangan Katolik konservatif yang pro-kebijakan perbatasan ketat.
Namun, pandangan Paus Fransiskus bukanlah inovasi radikal seperti yang digambarkan para kritikusnya. Ini sebenarnya meneruskan ajaran pendahulunya. Paus Yohanes Paulus II pada tahun 1995 menyatakan bahwa “menyambut dan menunjukkan solidaritas” kepada migran tanpa dokumen “adalah kewajiban keramahtamahan dan kesetiaan pada identitas Kristiani itu sendiri.” Demikian pula, Paus Benediktus XVI menegaskan bahwa imigran dan penduduk asli sama-sama memiliki hak untuk menikmati kekayaan bumi.
Ketiga Paus terakhir ini tidak pernah menganjurkan imigrasi tanpa batas. Mereka semua mengakui hak negara untuk mengatur arus migrasi dan menjaga keamanan. Namun, perubahan sikap di kalangan Katolik terhadap migran terlihat jelas dalam retorika beberapa tokoh saat ini.
Prinsip “ordo amoris” dan konteksnya dalam perdebatan
Wakil Presiden Amerika Serikat J.D. Vance, seorang Katolik terkemuka, dalam sebuah wawancara dengan Fox News menyatakan: “Ada konsep lama—dan saya pikir ini konsep yang sangat Kristiani—bahwa Anda mencintai keluarga Anda terlebih dahulu, kemudian tetangga Anda, komunitas Anda, sesama warga negara, dan baru setelah itu Anda dapat fokus pada seluruh dunia.” Pernyataan ini memicu perdebatan sengit di kalangan Katolik.
Prinsip yang dirujuk Vance—ordo amoris atau “urutan cinta”—memang diakui dalam teologi Katolik. Santo Agustinus dan Thomas Aquinas keduanya menyebutkan preferensi terhadap mereka yang dekat dengan kita. Namun, banyak pendukung prinsip ini mengabaikan kondisi penting yang ditetapkan oleh para teolog tersebut. Thomas Aquinas sendiri menulis: “Dalam kasus tertentu, seseorang harus menolong orang asing dalam kesulitan ekstrem daripada ayahnya sendiri, jika ayahnya tidak dalam kebutuhan yang mendesak.”
Posisi | Pandangan tentang Imigrasi | Tokoh/Kelompok |
---|---|---|
Ajaran Paus | Keseimbangan antara penerimaan migran dan hak negara mengatur perbatasan | Paus Fransiskus, Yohanes Paulus II, Benediktus XVI |
Kelompok “Border-Hawk” | Prioritas pada keamanan nasional dan deportasi massal | R.R. Reno, Matt Walsh, Kevin Roberts, Tom Homan |
USCCB | Menentang penangkapan di gereja dan layanan sosial | Konferensi Para Uskup Katolik Amerika Serikat |
Kebijakan imigrasi yang bertentangan dengan martabat manusia
Para kritikus Paus Fransiskus sering mengabaikan konteks yang memicu keprihatinannya. Administrasi Trump pertama menerapkan kebijakan yang memisahkan ribuan orang tua dari anak-anak mereka. Sentimen restriktif terhadap imigran telah berkembang menjadi xenofobia terang-terangan, seperti terlihat dalam kampanye Trump 2024 yang menjadikan migran Haiti di Springfield, Ohio sebagai kambing hitam.
Beberapa praktik yang mencederai martabat manusia dalam kebijakan imigrasi AS meliputi:
- Pemisahan keluarga di perbatasan yang memisahkan anak-anak dari orang tua
- Retorika yang menggambarkan migran sebagai kriminal atau ancaman budaya
- Penangkapan oleh ICE yang terkadang keliru menahan warga negara AS
- Pembekuan dana untuk program penempatan pengungsi yang dikelola USCCB
- Video “deportasi ASMR” yang dipublikasikan Gedung Putih
Keseimbangan yang diabaikan dalam perdebatan perbatasan
Apa yang tampaknya dilupakan dalam perdebatan ini adalah keseimbangan antara kedaulatan negara dan martabat setiap manusia. Baik Paus Fransiskus maupun pendahulunya tidak pernah mengadvokasi perbatasan terbuka sepenuhnya. Mereka mengakui hak negara untuk mengatur migrasi dan menjaga keamanan. Namun, mereka menekankan bahwa hal ini harus dilakukan dengan cara yang menghormati martabat setiap orang.
Surat Paus Fransiskus bukan seruan untuk utopia tanpa batas seperti yang diklaim kritikusnya. Melainkan, ini adalah permohonan untuk retorika dan kebijakan yang menghormati martabat setiap kehidupan manusia—sebuah kepedulian Katolik yang sudah berlangsung lama namun sering diabaikan dalam perdebatan kebijakan imigrasi AS.
Para Katolik konservatif yang mengkritik Paus mungkin perlu merefleksikan apakah pandangan mereka benar-benar didasarkan pada tradisi Katolik yang utuh, atau justru merupakan interpretasi selektif yang lebih dipengaruhi oleh politik partisan daripada ajaran Gereja yang komprehensif. Dalam isu kompleks ini, pemahaman yang mendalam tentang ajaran Katolik mengenai solidaritas universal dan martabat manusia tetap menjadi landasan penting.
- Revolusi Paus Fransiskus : Harapan umat Katolik dan kenyataan yang mengejutkan - 23 April 2025
- Grup drag queen mengejek Yesus dan Kekristenan dalam pertunjukan Paskah untuk anak-anak - 19 April 2025
- Peran kristiani yang kuat di Gedung Putih : Sejarah, pengaruh, dan praktik keagamaan para presiden AS - 18 April 2025