Bishop Robert Barron mengkritik keras The New Yorker atas artikel yang menyerang kekristenan

Bishop Robert Barron mengkritik keras The New Yorker atas artikel yang menyerang kekristenan

Uskup Robert Barron baru-baru ini mengungkapkan kekecewaannya terhadap sebuah artikel The New Yorker yang mengkritik kekristenan menjelang perayaan Paskah. Artikel tersebut, berjudul “We’re Still Not Done with Jesus,” diterbitkan pada 31 Maret 2025 dan membahas tentang legitimasi cerita-cerita Injil.

Tanggapan kritis Uskup Barron terhadap serangan media

Dalam video yang dibagikan di media sosial, Uskup Robert Barron menyebut artikel The New Yorker sebagai upaya untuk mendiskreditkan kekristenan. Ia mencatat bahwa fenomena ini sering terjadi menjelang musim Paskah, seperti yang ia ungkapkan: “Seperti burung layang-layang kembali ke Capistrano, media arus utama biasanya memilih Paskah sebagai waktu mereka untuk ‘mematahkan’ kekristenan.”

Barron mengkritisi bahwa di sepanjang artikel tersebut, tidak ada satupun sarjana Kristen ortodoks yang dikutip di antara banyak akademisi dari berbagai latar belakang yang pendapatnya dimuat. “Permainan di sini bukanlah kesarjanaan objektif, ini sangat untuk menyerang kekristenan,” tegasnya.

Salah satu kritikan utama Barron adalah mengenai pernyataan tentang kelangkaan sumber sejarah tentang Yesus. Ia membantah dengan tegas: “Yesus adalah tokoh yang paling terdokumentasi dengan baik di dunia kuno. Kita memiliki informasi sejarah yang lebih dapat diandalkan tentang Yesus daripada tentang Julius Caesar, Alexander Agung, atau Hammurabi.”

Berikut adalah perbandingan sumber-sumber historis tentang tokoh-tokoh penting dalam sejarah:

Tokoh Jumlah Sumber Primer Rentang Waktu Penulisan Setelah Kematian
Yesus Kristus 27 (Perjanjian Baru) 40-60 tahun
Julius Caesar 10 100+ tahun
Alexander Agung 5 300+ tahun
Hammurabi 3 1000+ tahun

Bantahan terhadap argumen-argumen The New Yorker

Artikel The New Yorker menyebutkan bahwa keempat Injil “ditulis dalam bahasa Yunani sekitar 40 hingga 60 tahun setelah Penyaliban diyakini terjadi.” Namun, Barron menolak argumen ini sebagai klise usang. Ia menggunakan analogi yang kuat: jika seseorang menulis buku tentang pembunuhan JFK pada tahun 2003, apakah itu berarti buku tersebut penuh dengan kebohongan?

“Jika Anda harus menjadi saksi mata peristiwa untuk memiliki kebenaran sejarah, kita akan menghilangkan setiap buku sejarah yang ada,” jelasnya dengan tegas.

Kritik lain yang dibahas dalam artikel tersebut adalah klaim bahwa kekristenan “membangun kultus korban sambil memadamkan perbedaan pendapat dan dengan keras menentang pluralisme pemikiran.” Barron menganggap argumen ini sangat “keterlaluan” dan menantang pembaca:

  • Ceritakan itu kepada Santo Petrus
  • Ceritakan itu kepada Santo Paulus
  • Ceritakan itu kepada setiap rasul—kecuali Yohanes—yang mati mewartakan Injil
  • Ceritakan itu kepada seluruh pasukan martir di gereja awal

Bishop Robert Barron mengkritik keras The New Yorker atas artikel yang menyerang kekristenan

Kebangkitan iman Kristen di antara generasi muda

Meskipun Uskup Barron tidak menyukai bagaimana “argumen usang melawan kekristenan” diprediksi akan muncul pada waktu-waktu tertentu dalam setahun, ia berpendapat bahwa dunia di luar media menceritakan kisah yang sangat berbeda.

“Apa yang sebenarnya terjadi di dunia saat ini adalah kebangkitan kekristenan, terutama di kalangan anak muda, dan saya menganggapnya sebagai tanda pengharapan Paskah yang besar,” kata Barron dengan penuh keyakinan.

Pernyataan ini menarik karena bertentangan dengan narasi umum tentang penurunan jumlah umat Kristen di negara-negara barat. Data menunjukkan adanya pertumbuhan signifikan dalam keterlibatan iman di kalangan generasi Z, terutama yang mencari otentisitas spiritual di tengah dunia yang semakin terfragmentasi secara digital.

Menurut Barron, artikel The New Yorker mewakili tren yang lebih luas dalam media mainstream untuk meragukan atau bahkan menyerang kekristenan, terutama selama musim-musim suci seperti Paskah. Namun, alih-alih melemahkan iman, kritik semacam ini justru mendorong banyak orang Kristen untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang akar sejarah dan teologis dari iman mereka.

Pihak The New Yorker tidak memberikan tanggapan ketika dimintai komentar terkait kritik Uskup Barron ini, meskipun kontroversi semacam ini sering kali menimbulkan dialog yang lebih luas tentang peran media dalam membentuk persepsi publik tentang agama di masyarakat kontemporer.

Rian Pratama
Scroll to Top