Hubungan antara gerakan MAGA dan Paus Leo XIV mulai menunjukkan ketegangan yang semakin jelas. Penunjukan paus pertama dari Amerika Serikat justru disambut dengan kecurigaan oleh pendukung MAGA. Laura Loomer, seorang influencer dan teori konspirasi, segera memberi label Leo XIV sebagai “Anti-Trump, anti-Maga, pro-perbatasan terbuka, dan Marxis total seperti Paus Fransiskus.” Pernyataan ini menggambarkan ketegangan teologis dan politik yang semakin meningkat di kalangan Katolik Amerika.
Pertemuan dua dunia: MAGA Katolik dan kepemimpinan Leo XIV
Pemilihan paus asal Chicago ini telah menciptakan ketegangan baru dalam politik agama di Amerika. Para tokoh Katolik MAGA seperti JD Vance, Marco Rubio, dan Steve Bannon menghadapi dilema antara kesetiaan politik dan iman Katolik mereka. Penting untuk dipahami bahwa gerakan MAGA Katolik telah menjadi semacam barisan teologis untuk era “America First”.
JD Vance, yang merupakan mualaf Katolik, pernah menimbulkan kontroversi ketika menggunakan ajaran Santo Agustinus untuk membenarkan kebijakan Trump tentang pengurangan bantuan internasional dan pengetatan imigrasi. Paus Fransiskus sebelum wafatnya telah membantah interpretasi Vance tentang konsep cinta kasih Agustinian yang mereduksinya menjadi “amal dimulai dari rumah”.
Meskipun demikian, terlalu sederhana untuk menolak Katolik MAGA sebagai kelompok yang secara teologis menyimpang. Banyak Katolik mungkin memahami keprihatinan MAGA tentang masalah dengan komunitas Katolik dan pengabaian kepentingan kelas pekerja di demokrasi liberal. Namun, masalahnya adalah bahwa populisme sayap kanan telah mengisi kekosongan kritik terhadap ketidakadilan era globalisasi dengan cara yang bertentangan dengan ajaran sosial Katolik universal.
Warisan Leo XIII dan tantangan bagi Leo XIV
Pilihan nama Leo oleh paus baru ini sangat simbolis. Leo XIII, yang dipilih pada 1878, menghadapi tantangan revolusi industri dan respons Marxis terhadap kekejamannya. Dalam ensiklik Rerum Novarum (1891), Leo XIII mengkritik keserakahan yang mementingkan keuntungan daripada manusia dan memungkinkan kesenjangan ekstrem dalam kekayaan yang merusak kebaikan bersama.
Leo XIV secara eksplisit menetapkan tugasnya untuk mengikuti jejak pendahulunya dari abad ke-19 tersebut. Menurut pernyataannya di konferensi Roma, ia akan menghadapi:
- Perang yang berkelanjutan di berbagai wilayah
- Perubahan iklim yang semakin mengkhawatirkan
- Ketimpangan yang terus membesar
- Migrasi paksa dan kontroversial
- Kemiskinan yang terstigmatisasi
Daftar tantangan ini dapat dilihat sebagai kritik awal terhadap pandangan dunia MAGA yang cenderung nasionalistis dan tertutup. Sementara gerakan Marxis di era Leo XIII mengandung unsur totaliter, nasionalisme Trumpian juga merupakan respons terhadap kerusakan kapitalisme dalam konteks globalisasi.
Leo XIII (1878-1903) | Leo XIV (2025-) |
---|---|
Menghadapi revolusi industri dan Marxisme | Menghadapi populisme sayap kanan dan krisis iklim |
Rerum Novarum – Kritik terhadap kapitalisme tanpa batas | Menegaskan kembali universalitas Katolik dan keprihatinan global |
Ketakutan Katolik MAGA dan masa depan dialog
Komentator Katolik Amerika Sohrab Ahmari mengutip khotbah Leo tahun lalu, di mana calon paus mengakui bahwa migrasi “adalah masalah besar, dan merupakan masalah di seluruh dunia” yang perlu diselesaikan. Ahmari menyarankan bahwa pengakuan ini dapat membuka kemungkinan dialog produktif dengan Katolik MAGA di Gedung Putih.
Namun, bagian selanjutnya dari khotbah tersebut juga penting: “Setiap dari kita, baik lahir di Amerika Serikat atau di Kutub Utara, semua diberi karunia diciptakan dalam citra dan keserupaan dengan Tuhan, dan hari kita melupakan itu adalah hari kita melupakan siapa diri kita.” Pernyataan ini merupakan pengingat kuat tentang universalitas martabat manusia yang menjadi inti ajaran Katolik.
Ketakutan Katolik MAGA terhadap Leo XIV bukan tanpa alasan. Kepemimpinan barunya kemungkinan akan menantang nasionalisme sempit, kebijakan anti-migran, dan penolakan terhadap kerja sama global untuk mengatasi krisis lingkungan. Para tokoh MAGA Katolik seperti Vance dan Rubio kini harus merenungkan bagaimana menyeimbangkan loyalitas politik mereka dengan komitmen iman Katolik yang universal.