Kristen Palestina putus asa saat perang Israel menghancurkan Gaza, tanah air mereka

Kristen Palestina putus asa saat perang Israel menghancurkan Gaza, tanah air mereka

Perang Israel di Gaza telah menghancurkan tanah air umat Kristen Palestina, meninggalkan mereka dalam keputusasaan mendalam. Komunitas Kristen yang telah lama menetap di Gaza kini menghadapi kehancuran rumah, gereja, dan institusi yang menjadi pusat kehidupan mereka selama berabad-abad.

Kehancuran warisan Kristen di Gaza

Gereja Ortodoks Yunani Santo Porphyrius di Gaza, yang sebagian bangunannya berasal dari abad ke-5 Masehi, menjadi simbol penting bagi komunitas Kristen Gaza. Namun, serangan udara Israel pada Oktober lalu menghancurkan sebagian dari kompleks gereja ini, menewaskan setidaknya 17 orang yang berlindung di dalamnya. Gereja ini sebelumnya menjadi tempat perlindungan bagi sekitar 400 warga Palestina, baik Kristen maupun Muslim, yang berharap tempat ibadah akan dihindarkan dari bombardir.

Selain Santo Porphyrius, gereja-gereja lain di Gaza juga menjadi sasaran serangan, termasuk Paroki Katolik Keluarga Kudus. Di sana, dua wanita Kristen, ibu dan anak, tewas ditembak penembak jitu IDF saat berjalan di dalam kompleks gereja pada Desember lalu. Peristiwa tragis ini menggambarkan bahwa bahkan tempat-tempat suci tidak luput dari kekejaman perang.

Pusat-pusat budaya Kristen lainnya seperti Arab Orthodox Centre dan Young Men’s Christian Association (YMCA) juga mengalami kerusakan parah. YMCA yang dulunya menjadi tempat berkumpul dan berekreasi anak-anak muda Gaza, kini berubah menjadi kuburan massal dengan banyak jenazah terkubur di bawah lapangan sepak bolanya.

Trauma dan penderitaan umat Kristen Gaza

Khalil Sayegh, seorang warga Kristen Gaza berusia 29 tahun yang kini tinggal di Washington DC, menceritakan pengalaman tragis keluarganya. Ayahnya, Jeries, meninggal dunia akibat serangan jantung di tengah traumatisnya kondisi pengungsian. Adik perempuannya, Lara (18 tahun), juga meninggal karena dehidrasi saat berusaha melarikan diri ke Mesir melalui perbatasan selatan Gaza.

Kisah keluarga Sayegh mencerminkan penderitaan yang dialami banyak warga Kristen Gaza. Sebelum perang, populasi Kristen di Gaza berjumlah sekitar 1.000 jiwa. Kini, setidaknya puluhan di antara mereka telah tewas – setara dengan sekitar 5% dari total komunitas. Mayoritas rumah-rumah di wilayah utara Gaza, tempat tinggal sebagian besar umat Kristen, telah hancur dibom.

Berikut adalah tabel yang menggambarkan dampak perang terhadap komunitas Kristen Gaza :

Aspek Sebelum Perang Setelah Perang
Populasi ~1.000 jiwa Berkurang signifikan
Rumah Ibadah Utuh dan aktif Sebagian besar rusak/hancur
Pusat Komunitas Berfungsi normal Hancur/menjadi kuburan
Kehidupan Sehari-hari Relatif normal Terganggu/terancam

Kristen Palestina putus asa saat perang Israel menghancurkan Gaza, tanah air mereka

Dilema iman di tengah krisis

Menghadapi tragedi beruntun, umat Kristen Gaza bergulat dengan dilema iman mereka. Sayegh merefleksikan bahwa keputusasaan memang muncul dalam tradisi teologi Kristen sebagai respons terhadap kejahatan dunia. Namun ia menekankan bahwa inti iman Kristen adalah keyakinan akan kebangkitan dan kemenangan kebaikan atas kejahatan, bahkan di saat-saat paling gelap.

Beberapa cara umat Kristen Gaza menghadapi krisis ini antara lain :

  • Berpegang teguh pada keyakinan akan kebangkitan dan keadilan ilahi
  • Saling menguatkan dalam komunitas gereja yang tersisa
  • Melakukan advokasi dan penyebaran kesadaran tentang situasi mereka
  • Mencari perlindungan dan bantuan dari gereja-gereja di luar Gaza
  • Berdoa bagi perdamaian dan rekonsiliasi

Paus Fransiskus telah berulang kali menyerukan gencatan senjata dan menelepon paroki Katolik di Gaza setiap hari untuk mendengar situasi terkini. Dukungan dari pemimpin agama dunia seperti ini memberi sedikit penghiburan bagi umat Kristen Gaza di tengah krisis.

Harapan akan masa depan yang damai

Meski situasi tampak suram, sebagian umat Kristen Gaza tetap berjuang memperjuangkan perdamaian dan keadilan. Sayegh sendiri mendirikan Agora Initiative, organisasi nirlaba yang mengadvokasi perdamaian antara Israel dan Palestina. Ia bekerja sama dengan seorang teman Yahudi untuk mempromosikan Arab Peace Initiative, proposal yang didukung Liga Arab untuk normalisasi hubungan dengan Israel sebagai imbalan penarikan penuh dari Gaza, Tepi Barat, dan Dataran Tinggi Golan.

Namun Sayegh menekankan bahwa gencatan senjata saja tidak cukup. Perjuangan rakyat Palestina adalah untuk pembebasan dari pendudukan, dekolonisasi Tepi Barat, dan pembongkaran pemukiman ilegal. Meski tujuan ini masih jauh, umat Kristen Gaza terus berharap dan berdoa agar suatu hari nanti mereka dapat kembali ke tanah air mereka dalam damai dan keadilan.

Rian Pratama
Scroll to Top