Mengapa Beijing berusaha mengontrol lebih ketat umat Kristiani Tiongkok

Mengapa Beijing berusaha mengontrol lebih ketat umat Kristiani Tiongkok

Pemerintah Tiongkok terus mengintensifkan kontrolnya terhadap komunitas Kristen di negara tersebut. Penangkapan Ezra Jin, pemimpin Gereja Zion, pada 10 Oktober lalu bersama lebih dari 30 staf dan pendeta menandai eskalasi terbaru dalam upaya Beijing mengatur aktivitas keagamaan. Langkah ini mencerminkan strategi yang lebih luas untuk memperkuat kendali negara atas praktik keagamaan yang dianggap berpotensi menantang otoritas pemerintah.

Latar belakang sejarah hubungan Tiongkok dengan agama Kristen

Kedatangan Kristianitas ke Tiongkok dapat ditelusuri hingga abad ke-7 dengan masuknya Kristen Nestorian melalui jalur perdagangan. Namun, pertumbuhan signifikan baru terjadi pada abad ke-19 ketika perjanjian dengan kekuatan Barat membuka pintu bagi misionaris Protestan. Periode ini juga memicu gerakan xenofobia yang pada akhirnya berkontribusi pada runtuhnya kekaisaran.

Tiongkok secara resmi mengakui lima agama : Buddhisme, Taoisme, Islam, Katolik, dan Protestan. Dari kelima agama tersebut, hanya Buddhisme dan Taoisme yang dianggap sebagai agama asli dan sentral bagi budaya Han Tiongkok. Bersama Konfusianisme, ketiganya membentuk “tiga ajaran” yang menjadi fondasi spiritual masyarakat Tiongkok selama sejarah kekaisarannya.

Setelah pembentukan Republik Rakyat Tiongkok pada 1949, semua orang Kristen asing diusir dari negara tersebut. Pemerintah kemudian menciptakan badan-badan pengelola yang dijalankan negara untuk semua agama utama. Ketidakpuasan terhadap badan-badan ini, terutama karena persyaratan memutus hubungan dengan gereja dan otoritas keagamaan luar negeri, memicu pembentukan gereja-gereja tidak terdaftar.

Periode Kebijakan Agama Dampak pada Kristianitas
1949-1976 Represi ketat Pengusiran misionaris, penangkapan massal
1980an Liberalisasi terbatas Pertumbuhan pesat komunitas Kristen
2013-sekarang Kontrol ketat Xi Jinping Sinisasi agama, penindasan sistematis

Kebijakan Xi Jinping terhadap komunitas Kristen

Sejak memimpin pada 2013, Xi Jinping telah mengambil pendekatan fundamentalis dalam kebijakan agama. Program “sinisasi” agama yang diperkenalkan secara resmi pada 2016 mengharuskan semua agama berasimilasi lebih dekat dengan ideologi negara Tiongkok. Kebijakan ini disertai rencana lima tahunan yang mengakibatkan penghancuran patung-patung keagamaan dan perubahan visual bangunan keagamaan.

Regulasi baru tentang agama yang disahkan pada 2015 melibatkan kontrol negara yang lebih ketat terhadap situs keagamaan, keuangan gereja, dan keterlibatan dalam kegiatan amal. Pencabutan paksa salib dari bangunan gereja dan penahanan Wang Yi pada 2018, seorang pemimpin gereja terkemuka yang kemudian dijatuhi hukuman sembilan tahun penjara, menjadi tanda-tanda tingkat keparahan tindakan keras tersebut.

Penelitian dari Januari 2025 menunjukkan bahwa jumlah orang Kristen Tiongkok telah mengalami stagnasi selama 20 tahun terakhir. Estimasi yang diterima secara umum menetapkan angka sekitar 90 juta pada awal milenium ini, menempatkan jumlah orang Kristen sejajar dengan jumlah anggota Partai Komunis.

Mengapa Beijing berusaha mengontrol lebih ketat umat Kristiani Tiongkok

Dimensi geopolitik dalam penindasan terhadap umat Kristen

Hubungan tegang antara Tiongkok dan Amerika Serikat memainkan peran penting dalam intensifikasi kontrol terhadap komunitas Kristen. Kaitan erat antara beberapa gereja tidak terdaftar dengan kelompok lobi evangelis di AS menjadi sumber kekhawatiran bagi Beijing. Orang Kristen Tionghoa-Amerika yang dekat dengan Partai Republik sering berperan instrumental dalam memberikan dukungan kepada tokoh-tokoh buangan terkemuka.

Mereka juga memastikan penindasan terhadap orang Kristen Tiongkok tetap menjadi agenda utama dalam hubungan bilateral. Tindakan represif cenderung meningkat ketika hubungan antara Tiongkok dan AS memburuk. Konteks inilah yang perlu dipahami dalam memahami waktu tindakan keras baru-baru ini.

Penyergapan terhadap gereja tidak terdaftar terkenal seperti Gereja Zion, yang putri pendirinya merupakan staf Senat AS, sama pentingnya dengan upaya Xi mengirim sinyal ke Washington seperti halnya mengontrol aktivitas keagamaan di dalam negeri. Fenomena serupa dapat ditemukan dalam konteks global dimana kelompok ekstrem kanan memanipulasi Kristen sebagai senjata untuk tujuan politik tertentu.

Tantangan masa depan bagi komunitas Kristen Tiongkok

Komunitas Kristen Tiongkok menghadapi tantangan yang semakin kompleks dalam praktik keagamaan mereka. Gereja-gereja rumah yang telah eksis di luar kontrol negara sejak tahun 1949 kini menghadapi tekanan yang lebih intensif. Faktor-faktor berikut mempengaruhi kondisi mereka :

  1. Regulasi ketat terhadap kegiatan keagamaan dan keuangan gereja
  2. Persyaratan asimilasi dengan nilai-nilai sosialis
  3. Pembatasan hubungan dengan organisasi keagamaan internasional
  4. Pengawasan ketat terhadap pemimpin dan anggota gereja

Kecuali hubungan AS-Tiongkok membaik, umat Kristen Tiongkok harus bersiap menghadapi lebih banyak sinyal serupa dari pemerintah Beijing. Masa depan praktik keagamaan di Tiongkok akan sangat bergantung pada dinamika politik domestik dan internasional yang terus berkembang. Intensitas kontrol pemerintah terhadap agama mencerminkan kekhawatiran Beijing terhadap potensi tantangan terhadap stabilitas politik dan ideologi negara.

Rian Pratama
Scroll to Top