Mengapa Kekristenan perlu berperan dalam menyelamatkan demokrasi bersama Jonathan Rauch

Mengapa Kekristenan perlu berperan dalam menyelamatkan demokrasi bersama Jonathan Rauch

Dalam dunia yang semakin terpolarisasi, hubungan antara kekristenan dan demokrasi menjadi topik yang semakin relevan. Jonathan Rauch, seorang penulis dari Brookings Institution, menyoroti pentingnya nilai-nilai Kristen dalam menjaga fondasi demokrasi liberal. Meskipun ia mengidentifikasi dirinya sebagai “ateis homoseksual Yahudi”, pandangannya tentang peran agama dalam kehidupan publik membuka perspektif baru tentang paradoks iman di era modern yang sering kita hadapi.

Kekristenan yang menipis: tantangan spiritual dalam masyarakat kontemporer

Salah satu masalah mendasar yang diidentifikasi Rauch adalah fenomena “Kekristenan yang menipis” (Thin Christianity). Fenomena ini terjadi ketika agama kehilangan keunikannya dan hanya menjadi bagian dari budaya sekitar. Gereja-gereja mainstream di Amerika yang dulunya merupakan pilar masyarakat kini hampir punah, dengan hanya 13% orang Amerika kulit putih yang masih berafiliasi dengan gereja-gereja tersebut.

Kekristenan sejatinya adalah agama yang kontra-budaya. Yesus sendiri mengajarkan nilai-nilai yang bertentangan dengan masyarakat Romawi di sekitarnya. Sosiolog agama menegaskan bahwa kelompok religius paling kuat ketika mereka berbeda dari masyarakat sekitar, menawarkan manfaat dan tantangan yang unik bagi pengikutnya.

Tantangan utama kekristenan modern adalah sekularisasi – ketika agama mulai menyerupai masyarakat di sekitarnya daripada mempengaruhinya dengan nilai-nilai transenden. Banyak gereja sekarang menjadi sekadar pilihan gaya hidup atau barang konsumen, kehilangan pesan distingtifnya dan dampak kulturalnya.

Beberapa faktor yang berkontribusi pada melemahnya peran kekristenan dalam masyarakat meliputi:

  • Penurunan kehadiran di gereja dan afiliasi keagamaan
  • Tantangan terhadap struktur keluarga tradisional
  • Ketidakmampuan gerakan sekuler untuk menggantikan fungsi sosial agama
  • Perpindahan energi spiritual ke gerakan-gerakan pseudo-agama
  • Polarisasi politik yang semakin tajam

Tiga pilar kekristenan dan hubungannya dengan nilai-nilai demokrasi

Jonathan Rauch mengidentifikasi tiga prinsip inti dari ajaran Yesus yang memiliki kaitan erat dengan nilai-nilai demokrasi liberal. Pemahaman tentang prinsip-prinsip ini menjadi kunci untuk memahami bagaimana kekristenan dapat membantu menyelamatkan demokrasi.

Prinsip Kristen Nilai Demokrasi Liberal
Jangan takut Ketahanan terhadap demagogueri dan ketakutan apokaliptik
Teladani Yesus Egalitarianisme radikal dan perlindungan minoritas
Saling mengampuni Toleransi, pluralisme, dan berbagi kekuasaan

Prinsip pertama, “Jangan takut”, merupakan perintah yang paling sering disebutkan dalam Alkitab Kristen. Ketakutan dapat dimanipulasi untuk merusak demokrasi, seperti yang diperingatkan oleh para pendiri Amerika. Demokrasi membutuhkan warga negara yang dapat menerima kekalahan dan mempercayai sistem konstitusional.

Prinsip kedua, “Teladani Yesus”, berkaitan dengan egalitarianisme radikal dan perhatian terhadap “yang paling hina”. Prinsip ini tercermin dalam konsep bahwa “semua manusia diciptakan setara dan dianugerahi oleh Pencipta mereka dengan hak-hak yang tidak dapat dicabut” – fondasi dari Konstitusi Amerika dan Bill of Rights.

Prinsip ketiga, “Saling mengampuni”, diterjemahkan menjadi toleransi dan pluralisme dalam konteks politik. Politik dalam budaya liberal tidak bisa tentang menghukum pihak lain secara maksimal atau menghancurkan mereka. Demokrasi liberal mengharuskan berbagi negara dan berperilaku seperti yang kita harapkan dari pihak lain ketika mereka berkuasa.

Mengapa Kekristenan perlu berperan dalam menyelamatkan demokrasi bersama Jonathan Rauch

Kekristenan yang tebal: jalan menuju pembaruan spiritual dan demokrasi

Rauch mengusulkan konsep “Kekristenan yang tebal” (Thick Christianity) sebagai jalan menuju pembaruan. Ini adalah kekristenan yang menuntut banyak dari pengikutnya, memberikan banyak balasan, dan bersifat kontra-budaya dalam pengajarannya sambil tetap mendukung demokrasi liberal yang menjadi konteks umumnya.

Selama 200 tahun pertama, gereja-gereja di Amerika cukup berhasil mensosialisasikan nilai-nilai ini. Alexis de Tocqueville, ketika mengunjungi Amerika pada tahun 1830-an, mengamati bagaimana kekristenan di Amerika selaras dengan nilai-nilai demokrasi sekuler liberal, berbeda dengan di Prancis.

Kompromi menjadi nilai inti dari konstitusi demokratis. James Madison, yang dianggap Rauch sebagai pemikir politik terbesar dalam sejarah, melihat kompromi bukan sebagai mengompromikan nilai-nilai, melainkan sebagai kekuatan dinamis yang memaksa orang untuk mencari solusi baru dan kreatif.

Untuk membantu menyembuhkan polarisasi saat ini, Rauch tidak meminta orang Kristen menjadi lebih Republik atau Demokrat, lebih kiri atau kanan, lebih sekuler, atau apapun. Ia hanya meminta orang Kristen menjadi lebih Kristen – mengedepankan aspek-aspek ajaran Kristen yang selaras dengan demokrasi liberal.

Pandangan Rauch mengingatkan kita bahwa nilai-nilai spiritual dapat menjadi kekuatan pemersatu alih-alih pemecah belah, dan bahwa demokrasi liberal bergantung pada kebajikan sipil yang sering dipupuk oleh tradisi keagamaan. Dalam dunia yang semakin terpolarisasi, mungkin sudah waktunya untuk meninjau kembali peran agama dalam ruang publik.

Agung
Scroll to Top