Kepergian Paus Fransiskus pada hari Sabtu ini menandai akhir dari sebuah era bagi Gereja Katolik. Pemakaman beliau di Basilika Santa Maria Maggiore di Roma dihadiri sekitar 50 kepala negara dan 130 delegasi dari seluruh dunia. Momen simbolis ini membawa pertanyaan penting: apakah visi Katolikisme yang lebih inklusif yang diperjuangkan Paus selama 12 tahun kepemimpinannya akan berlanjut?
Warisan kepemimpinan yang berfokus pada kaum terpinggirkan
Selama masa jabatannya, Paus Fransiskus secara konsisten membela hak-hak kaum migran dan minoritas. Pertemuan terakhirnya dengan JD Vance pada Minggu Paskah menjadi gambaran kontras tajam dengan nilai-nilai yang selama ini diperjuangkan Paus. Pertemuan tersebut terjadi hanya sehari sebelum kematiannya, seolah menjadi pengingat tentang tantangan yang dihadapi Katolikisme di era politik nasionalis.
Paus Fransiskus, sebagai pemimpin Katolik pertama dari Amerika Latin, membawa perspektif baru ke Vatikan. Beliau mendobrak tradisi kekakuan gereja dan membuka pintu dialog lebih luas dengan Revolusi Paus Fransiskus yang membawa harapan baru bagi umat Katolik. Kritiknya terhadap ketidakadilan ekonomi global dan penolakannya terhadap kapitalisme yang tidak terkendali menjadikannya suara moral di tengah krisis global.
Beberapa pencapaian penting Paus Fransiskus meliputi:
- Pengenalan berkat untuk pasangan sesama jenis
- Fokus pada krisis iklim sebagai masalah moral
- Pemberdayaan kaum awam dan akar rumput gereja
- Pengangkatan 108 kardinal baru dari berbagai negara termasuk 25 negara yang belum pernah memiliki kardinal sebelumnya
Tantangan dari kelompok konservatif Katolik
Tidak semua pihak dalam Gereja Katolik mendukung visi Paus Fransiskus. Konservatif Katolik Amerika seperti Kardinal Raymond Burke telah menunjukkan antipati yang kuat terhadap reformasi Fransiskus. Mereka melihat konklaf yang akan datang sebagai kesempatan untuk melancarkan “kontra-revolusi” di Vatikan.
Pertanyaannya, apakah pemimpin seperti Steve Bannon dan figur Katolik konservatif lainnya akan berhasil mempengaruhi arah gereja pasca-Fransiskus? Meskipun politik Barat sekuler telah bergeser ke arah kanan otoritarian, kemungkinan Roma mengikuti jalur yang sama dengan membatalkan reformasi Fransiskus tampaknya kecil.
Namun, keamanan warisan progresif Paus tidak sepenuhnya terjamin. Berikut perbandingan pandangan kelompok progresif dan konservatif dalam Gereja Katolik:
Isu | Pandangan Progresif | Pandangan Konservatif |
---|---|---|
Pasangan LGBTQ+ | Mendukung pemberkatan | Menolak pemberkatan |
Migrasi | Prioritas kemanusiaan | Fokus pada keamanan nasional |
Krisis iklim | Masalah moral utama | Isu sekunder |
Peran perempuan | Peningkatan otoritas | Mempertahankan tradisi patriarki |
Masa depan gereja dalam konteks politik global
Upaya Paus Fransiskus untuk menyeimbangkan kembali kekuasaan gerejawi dari Barat yang kaya ke belahan dunia selatan menjadi faktor penting. Pengangkatan kardinal dari Afrika dan Asia memperkenalkan dinamika baru dalam proses pemilihan paus berikutnya.
Namun, rebalancing ini tidak otomatis menguntungkan kaum progresif. Banyak pemimpin gereja dari Afrika dan Asia yang berbagi pandangan konservatif tentang seksualitas dan keluarga dengan Katolik Eropa Tengah pasca-komunis. Koalisi antara gereja-gereja belahan selatan dan kelompok konservatif Katolik dapat terbentuk.
Terlepas dari kemungkinan tersebut, calon paus berikutnya kemungkinan besar harus memiliki fokus yang sama dengan Fransiskus pada ketidaksetaraan global, hak-hak negara termiskin, dan krisis iklim. Konklaf yang kurang berfokus pada Barat juga harus menjamin empati berkelanjutan terhadap nasib jutaan migran.
Dalam novel Robert Harris “Conclave”, serangan teroris di Roma menjadi latar pilihan antara kardinal “Trumpian” yang ingin memutar balik jam dan kardinal damai dari belahan selatan. Namun, dalam kenyataannya, prospek narasi yang jelas dan memuaskan seperti itu sulit terjadi saat 135 kardinal pemilih berkumpul pada Mei mendatang.
Saat dunia memasuki era baru di bawah kepemimpinan Donald Trump yang kedua, taruhannya tinggi bagi gereja Kristen terbesar di dunia. Penerus Fransiskus harus melanjutkan semangat katolisitas dalam arti luas – keterbukaan kepada “todos, todos, todos” (semua, semua, semua) – sambil menghadapi tantangan politik global yang semakin kompleks.