Sejarah orang suci Kristen yang saat ini akan disebut ‘transgender’

Sejarah orang suci Kristen yang saat ini akan disebut 'transgender'

Dalam sejarah Kristen yang panjang, terdapat beberapa tokoh suci yang identitas gendernya berbeda dari kelahiran mereka. Di masa kini, individu-individu ini mungkin akan diidentifikasi sebagai ‘transgender’. Meskipun istilah modern ini tidak ada pada masa itu, konsep seseorang yang hidup dengan identitas gender berbeda sudah dikenal dalam tradisi Kristen sejak berabad-abad lalu.

Kisah para orang suci dengan identitas gender berbeda

Penelitian sejarah abad pertengahan menemukan setidaknya 34 kisah orang suci yang dapat dianggap ‘transgender’ dalam konteks modern. Tiga di antaranya sangat populer di Eropa abad pertengahan: St. Eugenia, St. Euphrosyne, dan St. Marinos. Ketiganya lahir sebagai perempuan tetapi memotong rambut dan mengenakan pakaian laki-laki untuk hidup sebagai biarawan di biara.

St. Eugenia, yang dibesarkan dalam tradisi pagan, bergabung dengan biara untuk mempelajari Kekristenan dan akhirnya menjadi kepala biara. St. Euphrosyne masuk biara untuk menghindari perjodohan yang tidak diinginkan dan menghabiskan sisa hidupnya di sana. Sementara St. Marinos, yang lahir dengan nama Marina, memutuskan untuk melepaskan kewanitaannya dan hidup bersama ayahnya di biara sebagai laki-laki.

Kisah-kisah ini tersebar luas dan populer. Cerita St. Eugenia muncul dalam dua naskah paling populer pada masanya – “Lives of Saints” karya Ælfric dan “The Golden Legend”. Ælfric adalah seorang kepala biara Inggris yang menerjemahkan kisah-kisah orang suci dari bahasa Latin ke bahasa Inggris Kuno pada abad ke-10, menjadikannya tersedia secara luas untuk masyarakat awam.

Nama Orang Suci Kelahiran Identitas yang Diadopsi Popularitas Kisah
St. Eugenia Perempuan Laki-laki/Biarawan Sangat tinggi, muncul dalam “Lives of Saints” dan “The Golden Legend”
St. Euphrosyne Perempuan Laki-laki/Biarawan Tinggi, tersedia dalam berbagai bahasa
St. Marinos Perempuan (Marina) Laki-laki/Biarawan Tinggi, tersedia dalam 10+ bahasa

Identitas transgender dalam nilai-nilai Kristen

Pada masa abad pertengahan, kisah orang suci lebih berfungsi sebagai cerita moral daripada catatan sejarah faktual. Transisi antara identitas gender menjadi metafora untuk transisi dari kepercayaan pagan ke Kristen, dari kekayaan ke kemiskinan, dari keduniawian ke spiritualitas.

Meskipun Gereja Katolik secara resmi menentang praktik berpakaian lintas gender dalam hukum dan pertemuan liturgis, Kekristenan tetap menghormati kesucian para orang suci ini. Ahli sastra Rhonda McDaniel menjelaskan bahwa di Inggris abad ke-10, adopsi nilai-nilai Kristen seperti menghindari kekayaan, militarisme, dan seks memudahkan orang untuk melampaui gagasan ketat tentang gender.

Para ahli seperti Alicia Spencer-Hall dan Blake Gutt berpendapat bahwa Kekristenan abad pertengahan melihat “transgender” sebagai sesuatu yang suci. Para orang suci transgender harus menolak konvensi untuk hidup autentik, seperti halnya orang Kristen awal harus menolak konvensi untuk hidup sebagai orang Kristen.

Beberapa bentuk “transgender” dalam tradisi Kristen meliputi:

  • Perempuan yang hidup sebagai laki-laki di biara
  • Perubahan penampilan fisik melalui pakaian dan gaya rambut
  • Penggunaan nama dan identitas baru
  • Penerimaan dalam komunitas religius dengan identitas baru
  • Penolakan terhadap peran gender tradisional demi nilai-nilai spiritual

Sejarah orang suci Kristen yang saat ini akan disebut 'transgender'

Kisah nyata Joseph dari Schönau

Tidak semua kisah orang suci diceritakan sebagai metafora. Kisah Joseph dari Schönau diceritakan sebagai kisah nyata yang dapat ditiru oleh orang Kristen biasa. Pada akhir abad ke-12, Joseph, yang lahir perempuan, bergabung dengan biara Cistercian di Schönau, Jerman.

Dalam pengakuan di ranjang kematiannya, Joseph menceritakan kisah hidupnya, termasuk ziarahnya ke Yerusalem sebagai anak-anak dan perjalanan sulit kembali ke Eropa setelah kematian ayahnya. Ketika akhirnya kembali ke tempat kelahirannya di Cologne, dia masuk biara sebagai laki-laki sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan.

Menariknya, penulis kisah Joseph, Engelhard dari Langheim, memiliki hubungan rumit dengan gender Joseph. Dia mengklaim Joseph adalah perempuan, tetapi secara teratur menggunakan kata ganti laki-laki untuk mendeskripsikannya. Fenomena serupa terjadi dalam penulisan kisah St. Eugenia, St. Euphrosyne, dan St. Marinos, di mana para penulis sering menggunakan kata ganti laki-laki.

Penggunaan kata ganti laki-laki oleh para penulis ini menunjukkan bahwa transisi mereka ke maskulinitas bukan sekadar metafora, tetapi dalam beberapa hal sama nyatanya dengan kisah Joseph. Berdasarkan kisah-kisah ini, dapat diargumentasikan bahwa Kekristenan memiliki sejarah transgender yang dapat menjadi dasar untuk menerima transgender sebagai bagian esensial dari nilai-nilainya.

Rian Pratama
Scroll to Top