Kontroversi muncul ketika mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengunggah gambar dirinya sebagai paus yang dibuat dengan kecerdasan buatan. Tindakan ini memicu berbagai kritik dari kalangan pemimpin Katolik dan politisi, terutama karena dilakukan saat Vatikan masih dalam periode berkabung setelah pemakaman Paus Fransiskus.
Kontroversi gambar Trump sebagai paus
Pada Jumat malam, Donald Trump membagikan gambar dirinya mengenakan jubah putih paus lengkap dengan kalung salib emas dan topi uskup (mitra) di platform Truth Social miliknya dan akun X resmi Gedung Putih. Dalam gambar tersebut, Trump terlihat mengarahkan jari telunjuknya ke langit, meniru pose yang sering dilakukan pemimpin agama.
Unggahan ini menuai kontroversi karena terjadi di saat yang kurang tepat. Vatikan masih dalam periode berkabung resmi selama sembilan hari setelah pemakaman Paus Fransiskus pada 26 April 2025. Selain itu, para kardinal dari seluruh dunia sedang berkumpul di Roma untuk mengikuti konklaf, proses pemilihan rahasia untuk memilih pemimpin baru bagi 1,4 miliar umat Katolik di dunia.
Mantan Perdana Menteri Italia, Matteo Renzi, menyebut gambar tersebut memalukan. “Ini adalah gambar yang menghina para penganut agama, merendahkan institusi, dan menunjukkan bahwa pemimpin dunia sayap kanan itu menikmati bertingkah seperti badut,” tulisnya di platform X.
Reaksi keras dari komunitas Katolik
Konferensi Katolik Negara Bagian New York, yang mewakili para uskup di negara bagian tersebut, menuduh Trump mengejek umat Katolik. “Tidak ada yang cerdas atau lucu tentang gambar ini, Tuan Presiden,” tulis mereka. “Kami baru saja memakamkan Paus Fransiskus yang kami cintai dan para kardinal akan segera memasuki konklaf yang khidmat untuk memilih penerus Santo Petrus. Jangan mengejek kami.”
Media berita Italia dan Spanyol mengkritik unggahan tersebut karena dianggap tidak pantas dan menyinggung, mengingat periode berkabung resmi masih berlangsung. Surat kabar Italia beraliran kiri, La Repubblica, bahkan menampilkan gambar tersebut di halaman utama mereka pada hari Sabtu dengan komentar yang menuduh Trump mengidap megalomanÃa patologis.
Trump, yang bukan seorang Katolik dan tidak secara rutin menghadiri kebaktian gereja, hadir dalam pemakaman Paus Fransiskus di Roma delapan hari sebelumnya. Sebelum kontroversi ini, ia pernah bercanda bahwa dia “ingin menjadi paus”. Hal ini menjadi semakin kontroversial mengingat prakarsa bias anti-Kristen yang mengejutkan dari Trump di AS.
Tanggapan dari pendukung Trump
Menanggapi kritik tersebut, Juru Bicara Gedung Putih, Karoline Leavitt, menyatakan bahwa Trump “telah menjadi pembela setia bagi umat Katolik dan kebebasan beragama”. Beberapa pendukung Trump juga membela tindakannya:
- Senator Republik Lindsey Graham, sekutu dekat Trump, justru menambah apa yang disebut pemimpin Katolik New York sebagai ejekan
- Jack Posobiec, influencer sayap kanan dan pendukung Trump, mengatakan bahwa candaan tentang pemilihan paus adalah hal biasa
- Beberapa pendukung lain menyebut kritik tersebut berlebihan
- Kubu Trump menyatakan bahwa gambar tersebut hanya lelucon ringan
Pembelaan yang dilakukan oleh pendukung Trump tidak mengurangi kecaman dari komunitas Katolik. Senator Graham bahkan menulis di X: “Saya senang mendengar bahwa Presiden Trump terbuka dengan ide menjadi Paus berikutnya. Ini benar-benar akan menjadi kandidat yang tidak terduga, tetapi saya meminta konklaf kepausan dan umat Katolik untuk berpikiran terbuka tentang kemungkinan ini!”
Pihak | Tanggapan terhadap gambar Trump sebagai paus |
---|---|
Konferensi Katolik NY | Mengecam keras, menganggap sebagai ejekan |
Matteo Renzi (eks PM Italia) | Menyebut gambar tersebut memalukan dan menghina |
La Repubblica | Menuduh Trump mengidap megalomanÃa patologis |
Pendukung Trump | Membela sebagai lelucon dan meminta toleransi |
Kontroversi ini terjadi di tengah konteks politik yang sensitif, dengan Trump sebagai calon presiden yang sedang berusaha menarik dukungan dari berbagai kelompok pemilih, termasuk umat Katolik. Namun, tindakan mengunggah gambar tersebut justru berpotensi merusak hubungannya dengan pemilih Katolik yang menjadi bagian penting dalam strategi kampanyenya.