Komunitas Katolik Hong Kong menghadapi masa sulit ketika kepemimpinan gereja lokal memilih untuk berdiam diri di tengah tekanan politik yang menguat. Situasi ini memunculkan pertanyaan fundamental tentang peran Gereja dalam membela umat yang terancam dan mengadvokasi kebenaran di tengah penindasan sistematis.
Krisis kepemimpinan dan sikap pasif Gereja Hong Kong
Kardinal Stephen Chow telah menyatakan bahwa kebebasan beragama di Hong Kong masih terjaga dengan baik. Pernyataan tersebut disampaikan dalam dialog publik di Parramatta, Australia, pada September 2024. Namun, realitas yang dihadapi umat Katolik di lapangan menunjukkan gambaran yang berbeda.
Banyak aktivis dan pemimpin Kristen Hong Kong kini hidup dalam pengasingan politik di berbagai negara, termasuk Amerika Serikat. Mereka tidak dapat kembali ke tanah air karena ancaman penangkapan dan penuntutan dengan tuduhan “berkolusi dengan kekuatan asing”. Situasi ini mencerminkan realitas yang jauh dari klaim kebebasan beragama yang disampaikan pemimpin gereja.
Gereja Katolik Hong Kong yang dulunya dikenal sebagai suara hati nurani kota kini menunjukkan sikap yang mengkhawatirkan. Selama gerakan pro-demokrasi tahun 2019, banyak pemuda yang mencari bimbingan moral dari Gereja. Jumlah jemaah muda mengalami peningkatan signifikan karena mereka percaya Gereja akan menjadi saksi profetik dalam perjuangan mereka.
Infiltrasi sistematis dan sinicization agama
Pemerintah Tiongkok telah mengidentifikasi komunitas Katolik sebagai target prioritas kontrol politik. Sebuah think tank pemerintah Tiongkok pada tahun 2021 menerbitkan analisis yang menuduh Gereja “menyamarkan tindakan kolusi dengan kekuatan asing” di Hong Kong, Macau, dan Guangdong.
| Aspek Kontrol | Implementasi | Dampak |
|---|---|---|
| Pendidikan | Integrasi doktrin keamanan nasional | Indoktrinasi siswa |
| Kurikulum | Nilai-nilai sosialis patriotik | Perubahan identitas religius |
| Simbolisme | Bendera Tiongkok di sekolah religius | Nasionalisasi ruang sakral |
Keuskupan Hong Kong telah menyelenggarakan setidaknya tiga seminar tentang “sinicization agama” bersama Catholic Patriotic Association (CPA) yang dikendalikan negara. Seluruh klerus, seminaris, dan suster religius diwajibkan mengunjungi Beijing untuk “pertukaran” setelah Kardinal Chow mengunjungi Beijing pada April 2023.
Di sekolah-sekolah berbasis agama, bendera nasional Tiongkok kini berdampingan dengan simbol-simbol sakral. Buku teks siswa berisi doa-doa yang memuji Tiongkok dan menyamakan patriotisme dengan iman. Para guru diwajibkan mengintegrasikan doktrin keamanan nasional ke dalam semua mata pelajaran, termasuk kurikulum religius.
Penderitaan tokoh Katolik dan kebisuan institusional
Kardinal Joseph Zen Ze-kiun, 93 tahun, ditangkap pada tahun 2022 dengan tuduhan “berkolusi dengan kekuatan asing” setelah mengelola dana kemanusiaan yang mendukung demonstran pro-demokrasi Hong Kong. Paspornya disita, mencegahnya bepergian dengan bebas, dan dia menjadi sasaran serangan media yang diatur negara.
Jimmy Lai, tahanan politik Katolik paling terkemuka abad ini, telah menghabiskan hampir lima tahun dalam isolasi di Hong Kong. Dia tidak mendapat akses reguler ke Komuni Kudus, yang merupakan penolakan terhadap hak sakramental dasar. Keuskupan Hong Kong seharusnya memperjuangkan hak religius fundamental ini.
Situasi ini menunjukkan pola sistematis di mana pemimpin gereja lebih memilih akomodasi politik daripada pembelaan terhadap umat yang menderita. Berikut adalah beberapa prioritas yang seharusnya menjadi fokus kepemimpinan Gereja :
- Advokasi untuk tahanan politik Katolik seperti Jimmy Lai
- Penolakan terhadap semua kerja sama dengan tuntutan CCP yang mengkompromikan hati nurani
- Dukungan terbuka untuk kebebasan beragama yang terancam
- Solidaritas publik dengan mereka yang dianiaya karena keyakinan
Tanggung jawab global dan masa depan umat Katolik
Pilihan yang dibuat Kardinal Chow antara kesaksian profetik dan akomodasi politik akan bergema jauh melampaui batas-batas Hong Kong. Katolik di seluruh dunia mengamati dengan cermat bagaimana Gereja universal menunjukkan komitmennya terhadap kebebasan beragama melalui situasi Hong Kong.
Para pemuda Katolik yang mencari Gereja selama pergolakan Hong Kong mencari terang dalam kegelapan. Mereka membutuhkan kepemimpinan yang berani membela kebenaran, bahkan ketika berbahaya, dan menjadi suara bagi mereka yang tidak memiliki suara.
Rekonsiliasi tidak boleh mengorbankan kebenaran abadi yang diperjuangkan Gereja. Umat beriman di Hong Kong layak mendapat lebih dari sekadar penyangkalan terhadap penderitaan mereka. Mereka berhak atas Gereja yang, bahkan dalam keadaan paling menantang, mempertahankan komitmennya untuk membela yang tertindas dan dipenjara.
- Jumlah konversi Katolik di New York melonjak, warga berbondong ke gereja - 17 November 2025
- Opinion terkini : analisis mendalam berbagai perspektif dan sudut pandang aktual - 17 November 2025
- RosalÃa dan album ‘Lux’ : bintang pop yang memahami Katolisisme dengan sempurna - 15 November 2025




