Undang-undang baru izinkan umat Katolik menjabat di Gereja Skotlandia

Undang-undang baru izinkan umat Katolik menjabat di Gereja Skotlandia

Undang-undang baru yang diajukan di Parlemen Inggris membuka peluang bagi umat Katolik untuk menjabat sebagai perwakilan Raja dalam Majelis Umum Gereja Skotlandia. Langkah bersejarah ini menandai perubahan signifikan dalam hubungan antar-agama di Skotlandia, sekaligus merefleksikan semangat inklusivitas yang semakin menguat.

Perubahan hukum membuka pintu bagi umat Katolik

Undang-undang Church of Scotland (Lord High Commissioner) Act 2025 diajukan untuk mencabut larangan yang telah berlaku selama hampir dua abad. Larangan ini berakar pada Roman Catholic Relief Act 1829, yang meskipun memungkinkan umat Katolik untuk menjabat di parlemen dan jabatan tinggi lainnya, masih melarang mereka menjadi Lord High Commissioner Gereja Skotlandia.

Perubahan hukum ini mencerminkan evolusi sikap toleransi beragama di Skotlandia. Dibandingkan dengan situasi satu abad lalu, ketika sentimen anti-Katolik masih kuat, langkah ini menunjukkan kemajuan besar dalam membangun jembatan antar komunitas agama.

Upaya mempererat hubungan antar-agama ini sejalan dengan seruan Paus Fransiskus untuk penyelidikan independen atas dugaan genosida di Gaza, yang menekankan pentingnya dialog dan perdamaian antar umat beragama di seluruh dunia.

Lady Eilish Angiolini: sosok pencetak sejarah

Dengan diangkatnya Lady Eilish Angiolini KC sebagai Lord High Commissioner untuk Majelis Umum Gereja Skotlandia 2025, sejarah baru akan terukir. Sebagai umat Katolik praktik, pengangkatannya menandai titik balik penting dalam sejarah Gereja Skotlandia dan hubungan antar-agama di negara tersebut.

Latar belakang Lady Angiolini sangat menarik:

  • Lahir di Glasgow dari keluarga keturunan Irlandia Katolik
  • Mantan Solicitor General dan Lord Advocate Skotlandia
  • Anggota Orde Thistle, penghargaan tertinggi di Skotlandia
  • Tokoh terkemuka dalam masyarakat Skotlandia

Pengangkatan Lady Angiolini dipandang sebagai isyarat penting persatuan, niat baik, dan kolaborasi antara Gereja Skotlandia dan Gereja Katolik di Skotlandia. Hal ini mencerminkan pergeseran signifikan dari ketegangan masa lalu menuju era baru kerja sama antar-agama.

Undang-undang baru izinkan umat Katolik menjabat di Gereja Skotlandia

Peran krusial Lord High Commissioner

Posisi Lord High Commissioner memiliki signifikansi khusus dalam tradisi Gereja Skotlandia. Sebagai perwakilan Raja, pemegang jabatan ini memiliki tanggung jawab penting selama Majelis Umum tahunan gereja:

Tugas Deskripsi
Pidato Pembukaan Menyampaikan pesan dari Raja dan membuka secara resmi Majelis Umum
Pengawasan Menghadiri sidang-sidang Majelis sebagai pengamat
Pidato Penutupan Merangkum hasil Majelis dan menyampaikan pesan penutup dari Raja

Majelis Umum sendiri merupakan forum tertinggi pengambilan keputusan Gereja Skotlandia. Acara tahunan ini telah berlangsung sejak Reformasi Protestan 1560, menjadikannya bagian integral dari kehidupan keagamaan dan sosial Skotlandia.

Dampak perubahan hukum bagi masyarakat Skotlandia

Pencabutan larangan bagi umat Katolik untuk menjabat sebagai Lord High Commissioner membawa implikasi luas bagi masyarakat Skotlandia. Langkah ini dapat dilihat sebagai:

  1. Simbol rekonsiliasi antara komunitas Protestan dan Katolik
  2. Pengakuan atas kontribusi umat Katolik dalam kehidupan publik Skotlandia
  3. Dorongan bagi dialog antar-iman yang lebih intensif
  4. Langkah menuju masyarakat yang lebih inklusif dan terbuka

Perubahan ini juga mencerminkan transformasi dalam pandangan Gereja Skotlandia sendiri. Dari sikap defensif di masa lalu, kini gereja menunjukkan keterbukaan yang lebih besar terhadap kerja sama lintas denominasi. Hal ini dapat menjadi katalis bagi inisiatif-inisiatif baru dalam membangun harmoni sosial dan keagamaan di Skotlandia.

Masa depan hubungan antar-agama di Skotlandia

Dengan dibukanya pintu bagi umat Katolik untuk menjabat sebagai Lord High Commissioner, terbuka pula kemungkinan-kemungkinan baru bagi hubungan antar-agama di Skotlandia. Langkah ini dapat menjadi batu loncatan menuju kerja sama yang lebih erat antara berbagai komunitas keagamaan.

Ke depan, tantangan yang perlu dihadapi adalah bagaimana memastikan bahwa semangat inklusivitas ini tidak hanya terbatas pada level institusional, tetapi juga meresap ke dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Skotlandia. Diperlukan upaya berkelanjutan untuk memupuk pemahaman dan rasa hormat antar umat beragama di semua lapisan masyarakat.

Dengan perubahan hukum ini, Skotlandia telah mengambil langkah penting menuju masa depan yang lebih inklusif dan harmonis. Tantangan selanjutnya adalah memastikan bahwa semangat perubahan ini terus dipelihara dan dikembangkan demi kebaikan bersama seluruh warga Skotlandia.

jose
Scroll to Top