Haruskah umat Katolik mengidentifikasi diri sebagai ‘feminis’ ? Konferensi Notre Dame bahas masalah ini

Haruskah umat Katolik mengidentifikasi diri sebagai 'feminis' ? Konferensi Notre Dame bahas masalah ini

Dalam konferensi terbaru di Universitas Notre Dame, panel pemikir Katolik wanita terkemuka membahas pertanyaan mendasar: “Haruskah umat Katolik mengidentifikasi diri sebagai ‘feminis’?” Konferensi ini, yang bertepatan dengan peringatan 30 tahun “Surat untuk Wanita” dari Paus Yohanes Paulus II, menghadirkan berbagai sudut pandang tentang hubungan antara ajaran Katolik dan feminisme.

Perspektif beragam tentang label “feminis” di kalangan Katolik

Selama konferensi yang diselenggarakan pada Maret 2025, beberapa pembicara mendukung penggunaan strategis istilah “feminis”, sementara yang lain mengungkapkan keraguan. Helen Alvaré, seorang ahli hukum dan pemimpin Gereja, menyoroti nilai instrumental dari identifikasi sebagai feminis untuk membangun jembatan komunikasi dengan wanita non-Katolik.

“Istilah ini memiliki kegunaan instrumental jika kita ingin menegaskan bahwa kita sama-sama berpihak pada kepentingan wanita,” kata Alvaré, yang telah mengadvokasi kebutuhan akan “feminisme baru” yang selaras dengan nilai-nilai Katolik.

Filosofer Melissa Moschella menawarkan perspektif serupa, mendorong peserta, termasuk biarawati dan ibu menyusui, untuk menggunakan label feminis secara strategis tergantung pada audiens yang dihadapi. “Gunakan jika bermanfaat dengan audiens tertentu, dan jika tidak, jangan,” jelasnya.

Abigail Favale, teolog dan penyelenggara konferensi, mengakui bahwa meskipun dia menggunakan istilah tersebut secara strategis, dia “sangat ambivalen” tentang apakah umat Katolik harus terus berbicara positif tentang feminisme. Keprihatinannya berakar pada pengalaman pribadinya bergeser dari mengadaptasi argumen feminis berdasarkan iman menjadi “mengadaptasi Kekristenan terhadap feminisme sekuler”.

Di sisi lain, beberapa panelis berpendapat bahwa ada nilai dalam umat Katolik yang mengadopsi label feminis, terutama mengingat munculnya pandangan anti-feminis di kalangan Katolik. Erika Bachiochi, seorang ahli hukum, menekankan pentingnya membela hak dan martabat perempuan sepenuhnya dalam konteks Katolik.

Titik temu dalam keberagaman pendapat

Meskipun terdapat perbedaan pendapat tentang penggunaan istilah “feminisme”, semua panelis sepakat tentang nilai ajaran Gereja mengenai misi unik wanita dan kebutuhan untuk mempromosikan keadilan bagi wanita dalam masyarakat. Leah Libresco Sargent, penulis dan analis kebijakan, menyatakan bahwa “wanita setara dalam martabat, dan mereka membutuhkan advokasi khusus karena mereka berbeda.”

Beberapa poin penting yang disepakati para pembicara meliputi:

  • Pentingnya wanita Katolik merangkul femininitas mereka sebagai nilai evangelis
  • Kebutuhan akan pendidikan yang baik tentang tubuh wanita
  • Menjadikan Maria sebagai model femininitas dan mediator protektif
  • Tantangan ideologi gender kontemporer yang perlu dihadapi
  • Pentingnya mentor yang baik bagi wanita Katolik

Rachel Coleman, seorang teolog, menekankan pentingnya menjalani kehidupan Katolik yang penuh sukacita dan bahagia sebagai seorang wanita. Sementara Deborah Savage, direktur Institut untuk Pria dan Wanita di Universitas Fransiskan Steubenville, mendorong peserta untuk “tidak meminta maaf” karena menjadi wanita dan bangga dengan karunia yang mereka bawa.

Haruskah umat Katolik mengidentifikasi diri sebagai 'feminis' ? Konferensi Notre Dame bahas masalah ini

Perdebatan publik tentang “feminisme Katolik”

Panel ini berlangsung setelah pertukaran pandangan yang cukup kontroversial tentang manfaat “feminisme Katolik” di Wall Street Journal. Perdebatan dimulai ketika Bachiochi menulis artikel yang menggambarkan Paus Yohanes Paulus II sebagai “paus feminis.” Tanggapan muncul dari Carrie Gress yang berpendapat bahwa ajaran Yohanes Paulus II tentang wanita tidak ada hubungannya dengan ideologi feminis.

Perbandingan pandangan utama tentang feminisme dalam konteks Katolik:

Perspektif Pendukung Utama Argumen Kunci
Feminisme Strategis Helen Alvaré, Melissa Moschella Memanfaatkan label untuk dialog dan menemukan titik temu
Ambivalensi Hati-hati Abigail Favale Berhati-hati terhadap pengaruh feminisme sekuler pada iman
Penolakan Total Carrie Gress Ajaran Katolik tentang wanita berbeda dari ideologi feminis
Feminisme Katolik Distinktif Erika Bachiochi, Angela Franks Mengembangkan alternatif Katolik terhadap feminisme radikal

Warisan para wanita suci sebagai model feminitas Katolik

Para pemikir dalam panel juga membahas pentingnya wanita Katolik memiliki model yang baik dan mendapatkan inspirasi dari para wanita suci sepanjang sejarah Gereja. “Kita perlu membuka dunia wanita suci yang menjalani kehidupan radikal dalam pelayanan kepada Gereja,” kata Favale. “Kita membutuhkan banyak model berbeda tentang femininitas yang suci.”

Konferensi tiga hari yang berjudul “True Genius: Misi Wanita dalam Gereja dan Budaya” juga mengeksplorasi topik seperti tubuh wanita dan budaya kehidupan, genius feminin dan sejarah Katolik, serta komplementaritas antara jenis kelamin. Para peserta juga membahas tantangan kontemporer seperti ideologi gender dan norma sosial yang menggambarkan anak-anak sebagai beban.

Singkatnya, konferensi Notre Dame telah memberikan platform untuk dialog mendalam tentang bagaimana umat Katolik dapat menanggapi feminisme dengan cara yang tetap setia pada ajaran Gereja. Sementara pertanyaan tentang penggunaan label “feminis” tetap terbuka, komitmen bersama untuk memajukan martabat dan misi unik wanita dalam tradisi Katolik terlihat jelas di antara para pembicara.

Agung
Scroll to Top