Situasi darurat kemanusiaan di Suriah semakin memburuk dengan gelombang kekerasan terbaru yang secara khusus mengancam kelompok minoritas Kristen. Pergolakan politik dan konflik bersenjata telah menciptakan kondisi yang sangat berbahaya bagi komunitas Kristen yang telah lama menjadi bagian dari mosaik keragaman Suriah.
Krisis terbaru mengancam minoritas Kristen di Suriah
Pada pertengahan Maret 2025, konflik sektarian di Suriah kembali memanas dengan dampak yang menghancurkan bagi kelompok minoritas. Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio dengan tegas mengidentifikasi bahwa “teroris Islamis radikal” secara khusus menargetkan minoritas di Suriah, termasuk Alawite, Kristen, dan Druze. Pernyataan ini berbeda dengan tanggapan Menteri Luar Negeri Inggris David Lammy yang hanya mengutuk “kekerasan mengerikan” tanpa menyebutkan sumbernya.
Berdasarkan data dari Sekretariat Negara untuk Bantuan Kristen yang Teraniaya milik pemerintah Hongaria, diperkirakan hingga 3.000 orang telah tewas dalam konflik terbaru, mayoritas adalah warga sipil Alawite. Beberapa orang Kristen juga menjadi korban. Meskipun serangan terutama ditujukan pada komunitas Alawite, umat Kristen di Suriah sangat khawatir karena adanya ungkapan lama Suriah yang berbunyi “pertama Alawite, kemudian Kristen”.
Sejak naiknya pemerintahan Islamis pada akhir tahun lalu, komunitas Kristen telah mengalami:
- Pembunuhan dan penculikan
- Intimidasi sistematis
- Perusakan tempat ibadah
- Pengusiran dari rumah mereka
- Diskriminasi ekonomi dan sosial
Perubahan dramatis kondisi minoritas agama di Suriah
Meskipun rezim Assad dikenal dengan sifat otoriternya, di bawah kepemimpinannya minoritas agama mendapatkan perlindungan dan tidak ada pertikaian antar-agama yang signifikan. Kondisi ini berubah drastis saat kelompok oposisi dan pemerintah Islamis mulai mengambil kendali di beberapa wilayah.
Pemimpin baru, Ahmed al-Sharaa, yang juga dikenal sebagai Abu Mohammed al-Jolani, memiliki sejarah panjang aktivitas teroris. Dia memulai karirnya di Irak bersama Abu Musab al-Zarqawi sebelum mengembangkan versi al-Qaeda-nya sendiri. Meskipun sekarang mengenakan jas ala barat dan berdialog dengan elite global di Davos, ideologi Islamis radikalnya tetap menjadi ancaman serius bagi minoritas agama.
Seorang penerjemah dari Raqqa yang dulu mendukung pemberontak, mengakui bahwa ia kini mendukung Assad setelah melihat alternatifnya. Kesaksian ini menggambarkan dilema menyedihkan yang dihadapi warga Suriah: pilihan antara rezim otoriter tetapi sekuler versus pemerintahan yang mungkin membahayakan keberadaan minoritas agama.
Periode | Kondisi Minoritas Kristen | Tantangan Utama |
---|---|---|
Sebelum Konflik | Relatif aman dan terlindungi | Pembatasan politik umum |
Selama Perang Sipil | Terjepit antara berbagai faksi | Serangan dari kelompok ekstremis |
2025 (Sekarang) | Sangat terancam | Persekusi sistematis dan pembersihan etnis |
Respons global dan upaya penyelamatan
Kampanye “Save Syria’s Christians” semakin mendapatkan perhatian internasional meskipun tanggapan dari berbagai negara sangat beragam. Hongaria telah mengambil langkah proaktif dengan mendirikan Sekretariat Negara untuk Bantuan Kristen yang Teraniaya – satu-satunya lembaga pemerintah di dunia yang khusus menangani masalah ini.
Sementara itu, perbedaan retorika antara pemimpin Barat mencerminkan kompleksitas politik dari krisis ini. Beberapa pejabat, seperti Marco Rubio, secara langsung mengakui dimensi religius dari kekerasan tersebut, sementara yang lain cenderung menggunakan bahasa yang lebih umum dan tidak spesifik.
Tantangan utama dalam upaya penyelamatan adalah mendapatkan akses ke komunitas yang terisolasi dan memastikan bantuan kemanusiaan mencapai mereka yang paling membutuhkan. Organisasi internasional dan kelompok bantuan keagamaan berusaha membuka koridor kemanusiaan dan zona aman bagi minoritas yang terancam, namun situasi keamanan yang tidak stabil dan polarisasi politik terus menghambat upaya-upaya tersebut.
Krisis ini menggarisbawahi dilema yang lebih luas tentang bagaimana mendukung kebebasan beragama dan melindungi minoritas dalam konflik yang kompleks, di mana pilihan kebijakan sering kali tidak sempurna dan memiliki konsekuensi yang tidak diinginkan.