Permintaan pemimpin evangelikal Amerika kepada pemerintah AS untuk tidak mencabut sanksi terhadap Suriah semakin menguat setelah peristiwa kekerasan terhadap kelompok minoritas agama. Johnie Moore, presiden Kongres Pemimpin Kristen, menyuarakan keprihatinan mendalam atas kemampuan rezim baru Suriah di bawah Ahmed al-Sharaa dalam melindungi warganya, terutama umat Kristen dan kelompok minoritas lainnya.
Peringatan keras pemimpin evangelikal terhadap kebijakan AS untuk Suriah
Pasca pembantaian lebih dari 1.000 warga Suriah, termasuk umat Kristen, yang terjadi pada Maret 2025, Pendeta Johnnie Moore memberikan kritik tajam terhadap pemerintahan interim Suriah. Kelompok Hayat Tahrir al-Sham yang dipimpin oleh Ahmed al-Sharaa, mantan anggota teroris al-Qaeda, dinilai gagal melindungi kelompok minoritas rentan.
“Ini adalah peringatan bahwa pemerintah Suriah belum siap jika tidak mampu melindungi sekelompok kecil umat Kristen yang tidak terlibat dalam kekerasan tersebut kecuali sebagai korban,” tegas Moore kepada media. Menurutnya, pemerintahan baru Suriah telah gagal dalam tugas utama sebuah pemerintahan yaitu melindungi warganya.
Meskipun al-Sharaa berjanji akan “meminta pertanggungjawaban, dengan tegas dan tanpa kelonggaran, siapa pun yang terlibat dalam pertumpahan darah warga sipil”, Moore tetap skeptis. Ia menegaskan bahwa pemerintahan baru ini mungkin bukan ISIS, tetapi mereka adalah “kaum Islamis” yang perlu diawasi dengan ketat.
Komunitas Kristen yang telah mengalami penderitaan akibat konflik di Timur Tengah kembali menjadi sasaran kekerasan di Suriah. Populasi Kristen di negara tersebut telah menyusut drastis sejak pecahnya perang saudara 2011:
- Sebelum perang saudara: sekitar 1,5 juta umat Kristen
- Saat ini: diperkirakan tersisa 300.000 orang
- Ratusan ribu lainnya terpaksa mengungsi ke negara tetangga
- Banyak tempat ibadah yang hancur atau rusak parah
Tanggapan internasional dan seruan untuk tekanan berkelanjutan
Moore mengkritik keras sikap negara-negara Eropa yang tampaknya memberi penghargaan kepada rezim Islamis Suriah. Ia mencatat bahwa Inggris telah mengumumkan pencabutan sanksi terhadap bank nasional Suriah dan lebih dari 20 entitas lainnya, sementara Komisi Uni Eropa berencana mengadakan konferensi pendanaan untuk membantu pemerintahan baru Suriah.
“Respons dari AS seharusnya justru sebaliknya,” tegas Moore. “Amerika Serikat harus mengirimkan pesan yang sangat jelas kepada pemerintah Suriah baru bahwa tidak akan ada keringanan sanksi dan normalisasi hubungan hingga mereka membuktikan mampu melindungi semua warga Suriah, termasuk umat Kristen yang rentan.”
Tuntutan Pemimpin Evangelikal | Situasi Terkini |
---|---|
Mempertahankan sanksi terhadap Suriah | Beberapa negara Eropa mulai mencabut sanksi |
Menolak pengakuan rezim al-Sharaa | Tekanan untuk normalisasi hubungan meningkat |
Perlindungan kelompok minoritas agama | Kekerasan terhadap minoritas masih berlanjut |
Nina Shea dari Pusat Kebebasan Beragama dan Moore sendiri telah membahas ancaman terhadap kekristenan di Suriah setelah pemberontak menguasai ibu kota. Mereka menekankan pentingnya peran Amerika Serikat dalam melindungi umat Kristen di wilayah konflik.
Tantangan keamanan dan kestabilan di bawah pemerintahan baru
Pasukan keamanan yang setia kepada pemerintah interim Suriah terlihat berpatroli di kota Latakia pada Maret 2025, namun ketegangan terus berlanjut. Keluarga Suriah yang melarikan diri dari bentrokan di negara tersebut terpaksa menyeberang ke provinsi Akkar di Lebanon utara, menambah krisis pengungsi di kawasan tersebut.
Rekaman video yang menunjukkan kelompok Islamis melakukan pembantaian terhadap minoritas Alawi Suriah telah memicu kekhawatiran global. Meskipun al-Sharaa mengklaim akan menindak tegas pelaku, Moore menyatakan bahwa pejuang asing yang bertindak atas arahan pemerintah Suriah atau tertanam di dalamnya telah “secara tidak pandang bulu dan mengerikan membunuh banyak warga sipil.”
Seruan Moore untuk mempertahankan tekanan pada rezim baru Suriah mencerminkan kekhawatiran yang lebih luas tentang masa depan kelompok minoritas di negara tersebut. Para pemimpin Kristen dan aktivis hak asasi manusia terus mempertanyakan kemampuan rezim Islamis al-Sharaa untuk membangun demokrasi yang dapat melindungi kelompok-kelompok minoritas agama yang rentan.