Ketegangan antara nilai-nilai spiritual dan kekuatan ekonomi telah menjadi perdebatan berkelanjutan dalam tradisi Katolik. Dua perspektif kontemporer yang menarik perhatian adalah visi yang disampaikan dalam dokumen kepausan Dilexi te dan pandangan yang dipresentasikan oleh institusi-institusi seperti Napa Institute. Perbedaan mendasar antara kedua pendekatan ini mengungkap pertanyaan fundamental tentang bagaimana umat Katolik seharusnya memahami hubungan antara iman dan kemakmuran material.
Visi kepausan tentang kemiskinan dan ketidakadilan struktural
Dokumen Dilexi te menyajikan pemahaman radikal tentang kemiskinan sebagai jalan menuju perjumpaan dengan Kristus. Paus menegaskan bahwa cinta kepada Tuhan tidak dapat dipisahkan dari cinta kepada kaum miskin, mengutip janji Yesus bahwa “Aku menyertai kamu senantiasa” dan “apa yang kamu lakukan untuk saudara-saudaraku yang paling hina, kamu telah melakukannya untuk-Ku”.
Perspektif ini mengakui keberadaan “struktur-struktur dosa yang menciptakan kemiskinan dan ketidaksetaraan ekstrem”. Dokumen kepausan secara eksplisit menolak teori-teori yang mencoba membenarkan keadaan ekonomi saat ini atau menunggu kekuatan pasar tak terlihat untuk menyelesaikan masalah kemiskinan. Sebaliknya, dokumen ini menekankan bahwa martabat setiap pribadi manusia harus dihormati hari ini, bukan besok.
Pendekatan ini juga menantang paradigma Pencerahan yang mengidentifikasi eksistensi manusia dengan kemandirian dan agensi rasional bebas. Dokumen mengakui bahwa sakit, kelemahan, dan kematian adalah realitas yang lebih mendalam yang akan datang kepada kita semua, terlepas dari kemakmuran lahiriah kita.
Perspektif Napa Institute tentang ekonomi dan providensia
Di sisi lain, pandangan yang direpresentasikan oleh tokoh-tokoh seperti Frank Hanna III dari Napa Institute menyajikan interpretasi yang berbeda tentang hubungan antara iman dan ekonomi. Menurut perspektif ini, keuntungan adalah hasil dari campuran Providensia Allah dan kerja manusia, tanpa mempertimbangkan secara memadai privilese yang diwariskan atau struktur sosial yang tidak adil.
Pandangan ini melihat ketidaksetaraan sebagai bagian dari rencana ilahi, dengan argumen bahwa Allah memberikan ketidaksetaraan untuk kebaikan yang lebih besar. Namun, perspektif ini gagal membedakan antara perbedaan alamiah dan ketidaksetaraan yang merupakan produk dari hukum atau kebiasaan manusia yang, dalam dunia yang telah jatuh, tidak dapat dianggap sebagai pemberian Allah.
Berikut adalah perbedaan kunci antara kedua pendekatan :
| Aspek | Dilexi te | Napa Institute |
|---|---|---|
| Kemiskinan | Jalan perjumpaan dengan Kristus | Bagian dari ketidaksetaraan alami |
| Ekonomi pasar | Membutuhkan koreksi struktural | Instrumen Providensia Allah |
| Ketidaksetaraan | Struktur dosa yang harus dilawan | Rencana ilahi untuk kebaikan bersama |
Implikasi pastoral dan teologis
Perbedaan fundamental ini memiliki konsekuensi pastoral yang signifikan. Pendekatan Dilexi te menolak apa yang disebut sebagai “altruisme efektif” versi Katolik, yang menyarankan fokus pada elit karena mereka memiliki sumber daya untuk menciptakan solusi nyata. Sebaliknya, dokumen kepausan menekankan bahwa kaum miskin memiliki banyak hal untuk mengajarkan kita tentang Injil dan tuntutannya.
Perspektif ini juga mengkritik kecenderungan untuk membenarkan diri dari tempat yang sepatutnya kita tempati di antara kaum miskin dan tak berdaya melalui tipu muslihat utilitarian. Sebagaimana dijelaskan dalam konteks katolik dan ideologi gender, Gereja perlu mempertahankan perspektif yang autentik terhadap isu-isu kontemporer.
Di sisi lain, perspektif Napa Institute cenderung mengkristenkan cosmos yang pada dasarnya pagan, sementara Paus Leo dengan jelas melihat elemen-elemen tatanan ilahi yang tersembunyi di bawah struktur-struktur dosa. Perbedaan ini pada akhirnya mencerminkan kontras antara kota manusia versus Kota Allah, sebagaimana dipahami dalam tradisi Augustinian.
Tantangan kontemporer dan respons iman
Era modern menghadirkan bentuk-bentuk kemiskinan baru yang lebih halus namun berbahaya. Teknologi dan globalisasi menciptakan jalur-jalur baru untuk penyalahgunaan dan ketidakpedulian, melapisi kemiskinan Kristus dengan tingkat ketidakbermartabatan yang baru. Contohnya adalah pemindahan jutaan ton limbah beracun ke negara-negara Selatan, atau efek koruptif dari jurang yang belum pernah terjadi sebelumnya antara yang terkaya dan termiskin.
Dalam konteks ini, tiga prinsip kunci muncul dari refleksi teologis :
- Penolakan terhadap teori trickle-down yang mengklaim ekonomi pasar bebas akan secara otomatis menyelesaikan masalah kemiskinan
- Pengakuan bahwa kaum miskin adalah guru dalam hal Injil dan bukan hanya penerima amal
- Pemahaman bahwa struktur ekonomi dapat menjadi struktur dosa yang membutuhkan transformasi
Perdebatan antara Dilexi te dan perspektif Napa Institute pada akhirnya mengungkap pertanyaan mendalam tentang sifat kehidupan Kristen dalam dunia modern. Apakah iman harus mengadaptasi diri pada struktur ekonomi yang ada, ataukah struktur tersebut yang harus ditransformasi oleh visi Injil ? Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan arah pastoral dan sosial Gereja Katolik di abad ke-21.
- Sarjana Perjanjian Baru N.T. Wright tentang ajaran Santo Paulus - 13 November 2025
- Perayaan hari raya Basilika Lateran : sejarah dan makna spiritual gereja katedral Roma - 10 November 2025
- Mayoritas diam umat Katolik AS dukung upaya penegakan imigrasi Trump, kata ahli - 30 Oktober 2025




